Reformasi
bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke-20 M, telah membawaperubahan besar pada kebijakan pengembangan sector
pendidikan, yang secara umumbertumpu pada dua paradigma baru yaitu otonomisasi dan
demokratisasi. Undang-undangNomor 32 tahun
2004 Tentang Otonomi Daerah telah meletakkan sektor pendidikan sebagai salah
satu yang diotonomisasikan bersama sektor-sektor pembangunan yang berbasis
kedaerahan lainnya, seperti kehutanan, pertanian, koperasi, dan pariwisata.
Otonomisasi sektor pendidikan kemudian didorong pada sekolah, agar kepala
sekolah dan guru memiliki tanggung jawab besar dalam peningkatan kualitas
proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Baik guru dan
kepala sekolah, karena pemerintah daerah hanya memfasilitasi berbagai aktivitas
pendidikan, baik sarana, prasarana, ketenagaan, maupun berbagai program
pembelajaran yang direncanakan sekolah.
Bersamaan dengan itu, pemerintah juga mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989. Salah satu isu penting dalam
undang-undang tersebut adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan sektor pendidikan,
sebagaimana ditegaskan pada pasal 9 bahwa masyarakat berhak untuk berperan
serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program
pendidikan. Pasal ini merupakan kelanjutan dari pernyataan pada pasal 4 ayat 1
bahwa pendidikan di Indonesia diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan. Demokratisasi pendidikan merupakan implikasi dari dan sejalan
dengan kebijakan mendorong pengelolaan sector pendidikan pada daerah, yang
implementasinya di tingkat sekolah.
Berbagai perencanaan pengembangan sekolah, baik
rencana pengembangan sarana dan alat, ketenagaan, kurikulum serta berbagai
program pembinaan siswa, semua diserahkan pada sekolah untuk merancangnya serta
mendiskusikannya dengan mitra horizontalnya dari komite sekolah.
Terkait dengan demokratisasi penyelenggaraan sekolah
ini, setidaknya ada tiga aspek yang menjadi pusatperhatian dalam kajian ini, yakni demokratisasi dalam
penyusunan, pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah, demokratisasi
dalam proses pembelajaran sejak penyiapan program pembelajaran, sampai
implementasi proses pembelajaran dalam kelas dengan memberikan perhatian pada
aspirasi siswa, tidak mengabaikan mereka yang lamban dalam proses pemahaman,
dan tidak merugikan mereka yang cepat dalam pemahaman bahan ajar. Semua
memperoleh pelayanan yang proporsional, dan semua harus berakhir dengan batas
minimal pencapaian kompetensi sesuai angka yang ditetapkan bersama dalam
koridor mastery learning. Kemudian, semua upaya demokratisasi tersebut juga
tidak akan efektif membawa berbagai perubahan tanpa didukung dengan pola
pengelolaan sekolah yang sesuai. Oleh sebab itulah, model manajemen yang harus
dikembangkan dalam konteks demokratisasi sekolah tersebut adalah manajemen yang
demokratis, yang memperbesar pelibatan teamwork dalam proses pengambilan putusan,
perencanaan program, pendistribusian tugas dan wewenang, serta perubahan
paradigma dalammenilai produktivitas kerja setiap unsur dalam
organisasi sekolah, dengan orientasi
kepuasan pelanggan.
Demokratisasi dalam kurikulum dan proses pembelajaran
tidak akan berjalan dengan baik bila pola
pengelolaan sekolahnya otokratis, sentralistik dan
kurang aspiratif serta kurang pelibatan mitra horizontal sekolah. Usulan-usulan
kreatif guru akan selalu tersandung oleh aturan-aturan birokrasi dan kekuasaan vertikal.
Oleh sebab itu, demokratisasi kurikulum dan pembelajaran harus diimbangi dengan
demokratisasi dalam pengelolaan dan manajemen sekolah, dengan pelibatan seluruh
unsur dalam organisasi sekolah tersebut, bahkan dalam batas-batas tertentu,
juga melibatkan client dan user sekolah, khususnya dalam evaluasi dan
pengembangan kurikulum, serta upaya-upaya mengimplementasikan berbagai program
dan gagasan cerdas pengembangan sekolah.Praktik sekolah demokratis ini tentu memerlukan
pelibatn. Dalam konteks assessment kurikulum,pelibatan aspiratif untuk menjaring berbagai gagasan
pengembangan, bisa dilakukan pada semua level sekolah. Akan tetapi, dalam
konteks pelibatan siswa dalam pengembangan proses pembelajaran, masih belum
secara totalitas dikembangkan secara demokratis, khususnya untuk level sekolah
dasar dan prasekolah, walupun berbagai penelitian di negara maju telah
dicobakan sampai pada level taman kanak-kanak.
No comments:
Post a Comment