Faktor sumber daya manusia amat menentukan keberhasilan pembangunan
nasional, karena pembangunan itu dilaksanakan oleh manusia untuk
mencapai tujuan yang dapat mensejahterakan manusia. Karena posisi sumber
daya ini merupakan posisi sentral, maka seharusnya perhatian dan daya,
serta usaha dipusatkan untuk membangun sumber daya manusia hingga
mempunyai kualitas yang dapat memenuhi keinginan dan cita-cita yang
mendukung terwujudnya tujuan pembangunan tersebut.
Pemikiran yang meletakkan sumber daya manusia sebagai titik sentral
usaha pembangunan meletakan posisi pendidikan dalam peran yang kuat
dalam usaha mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan unggul.
Pendidikan yang berperan begitu penting itu perlu dioptimasikan sehingga
dalam penyelenggaraannya secara efektif dan efisien terarah dan
terkoordinasikan secara terpadu pada pengembangan kualitas sumber daya
manusia seperti yang diinginkan. Salah satu jawaban yang dapat
diketengahkan adalah menjadikan perencanaan sebagai alat (tool)
pembangunan pendidikan, yang berarti pula pembangunan kualitas sumber
daya manusia. Optimasi pembangunan kualitas sumber daya manusia di
sekolah (dalam hal ini guru dan staf) ini perlu direncanakan secara baik
dan komprehensif hingga usaha pendidikan dapat dijadikan aset nasional
dan pembangunan nasional.
Konsep Dasar Perencanaan
Pada hakikatnya perencanaan adalah suatu rangkaian proses kegiatan
menyiapkan dan menentukan seperangkat keputusan mengenai apa yang
diharapkan terjadi (peristiwa, keadaan, suasana, dan sebagainya) dan apa
yang akan dilakukan (intensifikasi, eksistensifikasi, revisi, renovasi,
substitusi, kreasi dan sebagainya).
Rangkaian proses kegiatan itu
dilaksanakan agar harapan tersebut dapat terwujud menjadi kenyataan di
masa yang akan datang, yaitu dalam jangka waktu 1, 3, 5, 10, 15, 25, 40,
atau 50 tahun yang akan datang. Gambaran tentang harapan (das sollen) masa depan itu mungkin baru
merupakan impian atau sekedar cita-cita saja, atau mungkin pula sudah
ada ancar-ancar jangka panjang (10, 15, 25, 40 tahun) ukuran waktunya,
yang biasa disebut dengan visi. Sedangkan tugas yang akan dilakukannya
disebut dengan misi, yaitu untuk menghasilkan bidang hasil pokok (key
result areas) dengan ukuran standar normatif tertentu (values) dan
dengan jalan tertentu (strategy) yang dapat diterima oleh semua pihak
yang berkepentingan (stakeholders).
Jarak dan jurang kesenjangan (gaps) atau perbedaan (differences) dan
ketimpangan (disparities) antara harapan dan kenyataan itulah yang
lazimnya diidentifikasi sebagai permasalahan strategis (strategic
issue), yang membutuhkan pemecahan melalui program-program pembangunan
yang terarah sasaran bidang garapannya. Tugas dan pekerjaan untuk
mendeteksi seberapa besar atau seberapa jauh sebenarnya kemungkinan
terdapatnya kesenjangan antara kebutuhan-kebutuhan ideal (masa depan)
dengan kebutuhan yang ada saat ini pada dasarnya merupakan esensi dari
perencanaan pendidikan.
Beberapa unsur penting yang terkandung di dalam perencanaan pendidikan,
yaitu:
1. Penggunaan analisa yang bersifat rasional dan sistematik dalam
perencanaan pendidikan, hal ini menyangkut metodologi dalam perencanaan.
Perencanaan pendidikan dewasa ini telah berkembang dengan berbagai
pendekatan dan metodologinya yang cukup kompleks dan sulit.
2. Proses perkembangan pendidikan, artinya bahwa perencanaan pendidikan
itu dilakukan dalam rangka reform pendidikan, yaitu suatu proses dari
status sekarang menuju ke status perkembangan pendidikan yang
dicita-citakan. Perencanaan merupakan suatu momen dalam proses yang
kontinyu.
3. Prinsip efektivitas dan efisiensi, artinya dalam perencanaan
pendidikan itu pemikiran secara ekonomis sangat menonjol, misalnya dalam
hal penggalian sumber-sumber pembiayaan pendidikan, alokasi biaya,
hubungan pendidikan dengan tenaga kerja, hubungan pengembangan
pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi.
4. Kebutuhan dan tujuan murid-murid dan masyarakat, artinya perencanaan
pendidikan itu mencakup aspek internal dan eksternal daripada organisasi
sistem pendidikan.
Empat persoalan yang dibahas dalam mendefinisikan perencanaan
pendidikan, yaitu:
1. Tujuan, apakah yang akan dicapai dengan perencanaan itu?.
2. Status sistem pendidikan yang ada, bagaimanakah keadaan yang ada
sekarang?.
3. Kemungkinan pilihan untuk mencapai tujuan.
4. Strategi, penentuan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan.
Secara konsepsional bahwa perencanaan pendidikan itu sangat ditentukan
oleh cara, sifat, dan proses pengambilan keputusan, sehingga nampaknya
dalam masalah ini terdapat banyak komponen yang ikut berproses
didalamnya.
Adapun komponen-komponen yang ikut serta dalam proses
pengambilan keputusan ini, antara lain:
1. Tujuan pembangunan nasional bangsa yang akan mengambil keputusan
dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam bidang pendidikan. Target yang
hendak dicapai dengan meletakkan tujuan pendidikan nasional yang akan
berarti cara menyampaikannya pun akan juga mempengaruhi didalamnya.
Misalnya, waktu pelaksanaan, pertahapan, taktis, dan strategi dalam
meletakkan jalur kebijakan ke mana akan dibawa pendidikan itu.
2. Masalah strategi adalah termasuk penanganan policy (kebijakan) secara
operasional yang akan mewarnai proses pelaksanaan daripada perencanaan
pendidikan. Maka ketepatan peletakkan strategi ini adalah sangat penting
adanya. Dalam hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam penanganan
policy (kebijakan) ini adalah berkenaan dengan:
• Sifat dan kebijakan nasional pendidikan.
• Proses sosial yang dalam tingkat sedang berkembang.
• Cara pendekatan yang dipergunakan sebagai watak sistem perencanaannya.
Jadi dalam penentuan kebijakan sampai kepada pelaksanaan perencanaan
pendidikan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti: siapa yang
memegang kekuasaan (penguasa), siapa yang menentukan keputusan, dan
faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengambilan
keputusan. Terutama dalam hal memegang kekuasaan sebagai sumber lahirnya
keputusan, perlu memperoleh perhatian, misalnya mengenai sistem
kenegaraan yang merupakan bentuk dan sistem manajemennya, bagaimana dan
siapa atau kepada siapa tugas-tugas yang terkandung dalam kebijakan itu.
Juga masalah bobot untuk jaminan dapat terlaksananya perencanaan
pendidikan. Hal-hal tadi dapat diketahui melalui output atau hasil
sistem dari pelaksanaan perencanaan pendidikan itu sendiri.
Dalam sistem pengambilan keputusan sebagaimana diuraikan tadi pada
beberapa negara mempunyai cara yang berbeda-beda, seperti: di negeri
Belanda (Nederland) dikenal dengan istilah-istilah Private Decision
(Keputusan bukan Pemerintah atau Swasta dan atau Keputusan Individual).
Di Yugoslavia dengan sistem Syndicatisme, di Perancis dikenal dengan
“Projective and Inductive Planning”, yakni perpaduan antara kegiatan
dari pejabat negara dan bukan pejabat negara dalam proses tersebut.
3. Jenis dan tingkat kemajuan negara apakah negara berkembang atau
negara terbelakang atau negara industri. Karena dari beberapa sifat
negara tersebut, terdapat banyak faktor yang harus diperhatikan.
Selanjutnya dalam masalah persiapan perencanaan dalam definisi yang
dikemukakan tersebut ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu:
• Perencanaan itu kegiatan untuk masa yang akan datang.
• Suatu masalah kuncinya adalah bentuk dan isi “strategis” dan hal ini
yang harus mendapatkan perhatian.
• Perencanaan bukan mesalah kira-kira, manipulasi, atau teoritis tanpa
fakta atau data yang kongkrit, maka dalam prinsipnya harus telah
benar-benar diperhatikan hal-hal tersebut.
• Persiapan perencanaan harus dinilai dari pengertian-pengertian yang
benar tentang kebijakan, arah kebijakan, dan dalam kondisi yang
bagaimana pelaksanaannya dan sebagainya.
• Suatu tindakan nyata dalam pelaksanaannya, sehingga dapat diartikan
sebagai contoh dari yang lainnya.
Menurut C. E. Beeby (mantan Menteri Pendidikan Selandia Baru dan pernah
menjabat sebagai Konsultan UNESCO di Paris), bahwa Perencanaan
Pendidikan adalah suatu kegiatan melihat masa depan dalam hal menentukan
kebijakan, prioritas dan biaya pendidikan dengan mempertimbangkan
kenyataan-kenyataan yang ada dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik
untuk mengembangkan sistem pendidikan negara dan anak didik yang
dilayani oleh sistem tersebut.
Dari beberapa rumusan tentang Perencanaan Pendidikan tadi bahwa masalah
yang menonjol adalah suatu proses untuk menyiapkan suatu konsep
keputusan yang akan dilaksanakan di masa depan. Untuk jenis masyarakat
bagaimana, untuk macam kepemimpinan politik, intelektual dan sosial yang
bagaimana, atau untuk jenis kemampuan-kemampuan tenaga kerja bagaimana
pendidikan itu diarahkan?
Semakin jauh seseorang dapat melihat masa depan, semakin jelas arah
tujuan seseorang. Suatu rencana jangka panjang atau perspektif yang
dapat menemukan dan menjelaskan arah dan garis-garis besar dengan
demikian adalah suatu alat yang sangat berguna.
Dari beberapa rumusan definisi oleh para ahli tersebut ada beberapa hal
yang menonjol yang merupakan atribut atau ciri-ciri dari perencanaan
pendidikan, yaitu:
1. Perencanaan pendidikan adalah suatu proses intelektual yang
berkesinambungan dalam menganalisa, merumuskan dan menimbang serta
memutuskan, keputusan yang diambil harus mempunyai konsistensi (taat
azas) internal dan berhubungan secara sistematis dengan
keputusan-keputusan lain baik dalam bidang-bidang itu sendiri maupun
dalam bidang-bidang lain dalam pembangunan, dan tidak ada batas waktu
untuk satu jenis kegiatan. Dan ada tidak harus satu kegiatan mendahului
dan didahulukan oleh kegiatan lain.
2. Perencanaan pendidikan selalu memperhatikan masalah, kebutuhan,
situasi, dan tujuan kebutuhan, keadaan perekonomian, keperluaan
penyediaan dan pengembangan tenaga kerja bagi pembangunan nasional serta
memperhatikan faktor-faktor sosial dan politik merupakan aspek dari
perencanaan pembangunan yang menyeluruh.
3. Tujuan dari perencanaan pendidikan adalah menyusun kebijaksanaan dan
menggariskan strategi pendidikan yang sesuai dengan kebijakan pemerintah
(menyusun alternatif dan prioritas kegiatan) yang menjadi dasar
pelaksanaan pendidikan pada masa yang akan datang dalam upaya pencapaian
sasaran pembangunan pendidikan.
4. Perencanaan pendidikan sebagai perintis atau pelopor dalam kegiatan
pembangunan harus bisa melihat jauh ke depan bersifat inovatif,
kuantitatif dan kualitatif.
5. Perencanaan pendidikan selalu memperhatikan faktor ekologi
(lingkungan).
Dengan demikian, Perencanaan Pendidikan dalam pelaksanaannya tidak dapat
diukur dan dinilai secara cepat, tapi memerlukan waktu yang cukup lama,
khususnya dalam kegiatan atau bidang pendidikan yang bersifat
kualitatif, apalagi dari sudut kepentingan nasional. Hal ini tentu dapat
dengan mudah dimengerti karena pendidikan adalah suatu kegiatan pranata
sosial yang hasilnya baru dapat diukur dan dinilai dalam waktu yang
relatif lama, kecuali dalam jenjang pendidikan tertentu, seperti halnya
jenis pendidikan tinggi atau jenis pendidikan tertentu, seperti halnya
jenis pendidikan latihan atau penataran yang bersifat profesional.
Karakteristik perencanaan pendidikan ditentukan oleh konsep dan
pemahaman tentang pendidikan. Pendidikan mempunyai ciri unik dalam
kaitannya dengan pembangunan nasional dan mempunyai ciri khas karena
yang menjadi garapannya adalah manusia.
Dengan mempertimbangkan
ciri-ciri pendidikan dalam perannya dalam proses pembangunan, maka
perencanaan pendidikan mempunyai ciri-ciri seperti tercantum di bawah
ini:
1. Perencanaan pendidikan harus mengutamakan nilai-nilai manusiawi,
karena pendidikan itu membangun manusia yang harus mampu membangun
dirinya dan masyarakatnya.
2. Perencanaan pendidikan harus memberikan kesempatan untuk
mengembangkan segala potensi anak didik seoptimal mungkin.
3. Perencanaan pendidikan harus memberikan kesempatan yang sama bagi
setiap anak didik.
4. Perencanaan pendidikan harus komprehensif dan sistematis dalam arti
tidak praktikal atau sigmentaris tapi menyeluruh dan terpadu serta
disusun secara logis dan rasional serta mencakup berbagai jenis dan
jenjang pendidikan.
5. Perencanaan pendidikan harus diorientasi pada pembangunan dalam arti
bahwa program pendidikan haruslah ditujukan untuk membantu mempersiapkan
man power yang dibutuhkan oleh berbagai sektor pembangunan.
6. Perencanaan pendidikan harus dikembangkan dengan memperhatikan
keterkaitannya dengan berbagai komponen pendidikan secara sistemstis.
7. Perencanaan pendidikan harus menggunakan resources secermat mungkin
karena resources yang tersedia adalah langka.
8. Perencanaan pendidikan haruslah berorientasi kepada masa datang,
karena pendidikan adalah proses jangka panjang dan jauh untuk menghadapi
masa depan.
9. Perencanaan pendidikan haruslah kenyal dan responsif terhadap
kebutuhan yang berkembang di masyarakat tidak statis tapi dinamis.
10. Perencanaan pendidikan haruslah merupakan sarana untuk mengembangkan
inovasi pendidikan hingga pembaharuan terus menerus berlangsung.
Bila ciri-ciri tersebut dikaji dengan lebih seksama, maka akan terlihat
bahwa perencanaan pendidikan itu mempunyai keunikan dan kompleksitas
yang tidak dimiliki oleh jenis perencanaan lainnya dalam pembangunan
nasional.
Ciri-ciri tersebut diwarnai oleh pandangan terhadap pendidikan
dan hakekat pembangunan suatu bangsa.
Perencanaan pendidikan mengenal prinsip-prinsip yang perlu menjadi
pegangan baik dalam proses penyusunan rancangan maupun dalam proses
implementasinya. Prinsip-prinsip ini adalah sebagai tercantum di bawah
ini:
1. Perencanaan itu interdisiplinair karena pendidikan itu sendiri
sesungguhnya interdisiplinair terutama dalam kaitannya dengan
pembangunan manusia.
2. Perencanaan itu fleksibel dalam arti tidak kaku tapi dinamis serta
responsif terhadap tuntutan masyarakat terhadap pendidikan. Karena itu
planners perlu memberikan ruang gerak yang tepat terutama dalam
penyusunan rancangan.
3. Perencanaan itu obyektif rasional dalam arti untuk kepentingan umum
bukan untuk kepentingan subyektif sekelompok masyarakat saja.
4. Perencanaan itu tidak dimulai dari nol tapi dari apa yang dimiliki.
Ini berarti segala potensi yang tersedia merupakan aset yang perlu
digunakan secara efisien dan optimal.
5. Perencanaan itu wahana untuk menghimpun kekuatan-kekuatan secara
terkoordinir dalam arti segala kekuatan dan modal dasar perlu dihimpun
secara terkoordinasikan untuk digunakan secermat mungkin untuk
kepentingan pembangunan pendidikan.
6. Perencanaan itu disusun dengan data, perencanaan tanpa data tidak
memiliki kekuatan yang dapat diandalkan.
7. Perencanaan itu mengendalikan kekuatan sendiri, tidak bersandarkan
pada kekuatan orang lain, karena perencanaan yang bersandarkan kepada
kekuatan bangsa lain akan tidak stabil dan mudah menjadi obyek politik
bangsa lain.
8. Perencanaan itu komprehensif dan ilmiah dalam arti mencakup seluruh
aspek esensial pendidikan dan disusun secara sistematik dengan
menggunakan prinsip dan konsep keilmuan.
A. Analisis Posisi Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan pada dasarnya berpusat pada tiga komponen utama,
yaitu:
1. Apakah yang harus dicapai?
2. Bagaimanakah perencanaan itu dimulai?
3. Bagaimanakah cara mencapai yang harus dicapai itu?
Pertanyaan pertama, mempersoalkan tujuan yang merupakan titik usaha yang
harus dicapai.
Tujuan adalah arah yang mempersatukan kegiatan
pembangunan, tanpa tujuan kegiatan pembangunan pendidikan akan tidak
terarah dan tidak terkendalikan. Tujuan merupakan cita-cita dan
merupakan hal yang absolut dan tidak dapat ditawar.
Pertanyaan kedua, mempersoalkan titik berangkat pembangunan sebab
pembangunan harus dimulai dari titik berangkat yang pasti dalam arti
tidak dimulai dari nol sama sekali tapi dimulai dari tingkat yang telah
dicapai selama ini. Titik berangkat haruslah ditentukan berdasarkan
evaluasi atau kajian terhadap apa yang telah diperbuat bukan apa yang
harus diperbuat.
Pertanyaan ketiga, merupakan alternatif cara atau upaya untuk mencapai
tujuan dari titik berangkat yang telah ditentukan itu. Upaya ini dapat
saja berbentuk pendekatan, kebijakan atau bahkan strategi yang
kemungkinannya amat banyak tergantung kepada kemampuan untuk memilih
mana yang paling tepat dan efektif untuk mencapai tujuan tersebut.
Pola dasar di atas pada kenyataannya tidak sederhana karena pendidikan
itu sendiri amatlah kompleks. Pengembangan pola dasar ini hanyalah
merupakan modal yang dapat dipergunakan oleh planners sebagai salah satu
pila pikir yang meletakkan perencanaan secara tepat pada posisi dan
fungsi yang diinginkan.
Pembangunan pendidikan memerlukan resources yang perlu diatur secermat
mungkin karena resources itu amat langka. Pengertian ini perlu dikaitkan
dengan misi dan tujuan pembangunan pendidikan, arah pembangunan
pendidikan, orientasi pembangunan pendidikan, keseluruhan prioritas,
jenis, dan jenjang pendidikan serta fasilitas yang diperlukan dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Kesemuanya ini perlu dirancang secara
komprehensif, akurat, cermat dan efisien serta berdasarkan perhitungan
yang matang. Tanpa perencanaan yang sistematik dan rasional upaya
pembangunan pendidikan ini mustahil dapat dilaksanakan dengan efektif.
Perencanaan atau perancangan dalam hal ini berfungsi sebagai tool
sebagai guide line for actions, sehingga apa yang harus dilakukan sudah
diatur dan ditata terlebih dahulu.
Dalam perancangan usaha yang terpadu, koordinasi, pemanfaatan
sumber-sumber daya, urutan prioritas, dapat disusun secara sistematis
dan komprehensif. Arah dan tujuan pembangunan pendidikan dapat diatur
pencapaiannya dalam kurun waktu tertentu. Distribusi wewenang dan
tanggung jawab, pengawasan dan pengendalian dapat diatur sedini mungkin
hingga segala susuatu yang akan dikerjakan dapat diketahui, dan dihitung
terlebih dahulu dengan lebih cermat.
Dengan memperhitungkan hal-hal
inilah para ahli ekonomi memandang perencanaan ini sebagai vehicle
pembangunan bukan hanya untuk suatu sektor pembangunan tertentu saja,
tapi juga untuk seluruh sektor pembangunan. Indonesia memandang
perencanaan itu sebagai suatu hal yang indisible dan perannya amat
defisive, hingga amatlah sulit dibayangkan bagaimana mungkin kegiatan
pembangunan nasional Indonesia dapat dilaksanakan tanpa perencanaan.
Perencanaan itu dapat diartikan sebagai proses penyusunan berbagai
keputusan yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keputusan-keputusan itu disusun
secara sistematis, rasional dan dapat dibenarkan secara ilmiah karena
menerapkan berbagai pengetahuan yang diperlukan.
Perencanaan itu dapat
pula diberi arti sebagai suatu proses pembuatan serangkaian kebijakan
untuk mengendalikan masa depan sesuai yang telah ditentukan.
Kebijakan-kebijakan itu disusun dengan memperhitungkan kepentingan
masyarakat dan kemampuan masyarakat. Perencanaan dapat pula diartikan
sebagai upaya untuk memadukan antara cita-cita nasional dan resources
yang tersedia yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Dalam
proses memadukan itu dipergunakan berbagai cara yang rasional dan
ilmiah hingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Perencanaan
tidak berakhir hanya pada draft blue print tapi harus mencakup proses
implementasinya. Karena itu segala sesuatu yang dimasukkan di dalam
putusan kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan dengan secermat mungkin
fasibilitas atau kelayakannya. Perencanaan yang baik adalah perencanaan
yang dapat dilaksanakan.
Dengan memahami arti atau definisi perencanaan seperti yang diuraikan di
atas, dapat disimpulkan bahwa perencanaan itu sebenarnya alat peubah
dan alat pengendali perubahan. Pembangunan itu mengandung arti merubah
untuk maju dan berkembang menuju arah tertentu, dan perencanaan adalah
rumusan yang mengandung semua perubahan itu serta petunjuk untuk
mewujudkannya.
Karena itu pembangunan dan perencanaan dalam pengertian
ini tidak dapat dipisahkan karena memang saling melengkapi dan saling
membutuhkan. Ini berarti setiap upaya pembangunan memerlukan
perencanaan, dan setiap perencanaan adalah untuk mewujudkan upaya
pembangunan.
B. Mekanisme dan Prosedur Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan terdiri dari beberapa jenis tergantung dari sisi
melihatnya. Dari tinjauan cakupannya, perencanaan pendidikan ada yang
bersifat nasional atau makro, ada pula yang bersifat daerah atau
regional, ada juga yang bersifat lokal dan ada pula yang bersifat
kelembagaan atau institusional.
Perencanaan pendidikan pada tingkat nasional mencakup seluruh usaha
pendidikan untuk mencerdaskan atau membangun bangsa termasuk seluruh
jenjang, jenis, dan isinya. Pembangunan sektor pendidikan di Indonesia
diatur dalam perencanaan pendidikan yang bersifat nasional ini.
Perencanaan pendidikan regional adalah perencanaan pada tingkat daerah
atau provinsi yang mencakup seluruh jenis dan jenjang untuk daerah atau
propinsi itu. Pada sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
mungkin ini dikenal dengan sistem wilayah, bilamana wilayah itu secara
operasional mencakup suatu daerah atau provinsi tertentu.
Perencanaan
pendidikan lokal adalah perencanaan pendidikan yang mencakup berbagai
kegiatan untuk Kota atau Kabupaten tertentu saja.
Perencanaan pendidikan kelembagaan adalah perencanaan pendidikan yang
mencakup satu institusi atau lembaga pendidikan tertentu saja, seperti:
perencanaan sekolah, atau perencanaan universitas tertentu.
Ditinjau dari posisi dan sifat serta karakteristik perencanaan,
perencanaan pendidikan itu ada yang bersifat terpadu, dan yang bersifat
komprehensif, ada yang bersifat transaksional dan ada pula yang bersifat
strategik.
Perencanaan pendidikan terpadu atau Integrated Educational Planning
mengandung arti bahwa perencanaan pendidikan itu mencakup seluruh aspek
esensial pembangunan pendidikan dalam pola dasar perencanaan pembangunan
nasional.
Ini berarti bahwa perencanaan pendidikan pada tingkat makro
atau nasional hanyalah merupakan bagian integral dari keseluruhan
perencanaan pembangunan nasional. Kedudukan perencanaan pendidikan ini
sama dengan kedudukan perencanaan pembangunan ekonomi, atau perencanaan
pembangunan sektor pembangunan lainnya. Keterpaduan pola pikir yang
diterangkan dalam perencanaan ini menerapkan konsep General Systems
Theory yang memandang upaya pembangunan sebagai suatu sistem yang
terdiri dari berbagai komponen yang dalam hal ini berbagai sektor
pembangunan.
Pembangunan setiap sektor haurs terpadu dan saling
mempunyai keterkaitan erat hingga sumber-sumber daya yang dipergunakan
dapat secara optimal diatur dalam pemanfaatannya hingga efektif.
Perencanaan pendidikan komprehensif mengandung konsep keseluruhan yang
disusun secara sistemik dan sistematik. Seluruh aspek penting pendidikan
mencakup dan disusun secara teratur dan rasional hingga membentuk satu
keseluruhan yang lengkap dan sempurna.
Kelengkapan dan keteraturan dalam
pola dasar yang sistemik inilah yang merupakan ciri utama perencanaan
pendidikan yang komprehensif.
Perencanaan strategik adalah perencanaan yang mengandung pendekatan
Startegic Issues yang dihadapi dalam upaya membangun pendidikan. Kalau
isu pokok pembangunan pendidikan dewasa ini tentang Quality Declining,
maka perencanaan pendidikan yang mengambil fokus atau prioritas
pembangunan kualitas pendidikan, maka perencanaan yang dikembangkan
untuk mewujudkan prioritas ini disebut perencanaan strategik pembangunan
pendidikan.
Perencanaan pendidikan strategik ini bertitik tolak dari
gagasan untuk menanggulangi National Emerging Issues dan bertitik tolak
dari pikiran bahwa sumber-sumber daya itu amat langka, karena itu
penggunaannya harus diatur secermat dan seefisien mungkin hingga output
yang diharapkan memang merupakan keluaran yang efektif.
Ditinjau dari sisi metodologi, perencanaan pendidikan itu dapat disebut
Rational atau Systematic Planning, karena perencanaan ini menggunakan
prinsip-prinsip dan teknik-teknik berpikir sistematis dan rasional
ilmiah. Comprehensive Planning Model Schiefelbein, Integrated Planning
menurut Asia Model umpamanya dapat disebut sebagai Systematic Planning
atau Rational Planning yang bercirikan keterikatan pada ketentuan dan
peraturan perhitungan yang rasional dan teliti dan sebagai hasil
kalkulasi komputer umpamanya.
Prinsip System dan Rational Decision
Making jelas terlihat dalam planning seperti di atas.
Planning yang mencoba menciptakan linkage yang kuat dan serasi antara
rancangan yang telah ditetapkan dengan kenyataan implementasi rancangan
oleh administrator disebut dengan Transactional Planning. Transactional
Planning menurut Warwick (1980) adalah: “To forge strong links between
the planning and implementation of development programs. Transactional
Planning is chosen to highlight the essentially interactive and
political nature of effective development planning and program
implementation”.
Menurut survei (Warwick, 1980) ternyata kebanyakan negara berkembang
terdapat kesenjangan antara The Myth Planning dan The Reality of ThePlan.
Kesenjangan ini terutama disebabkan terutama oleh keengganan
administrator dan politisi untuk terlalu terikat kepada planning yang
sudah ada, karena Rational Planning ternyata terlalu ketat hingga
planning kehilangan kemampuannya untuk merespon terhadap berbagai
tantangan yang muncul. Transactional Planning mencoba menampung aspirasi
administrator dan politisi untuk mencoba menciptakan hubungan yang
nyata antara Planning Theory dan Planning Practice.
Secara konseptual Transactional Planning terdiri dari tiga bagian,
yaitu: Pertama, komponen environment yang juga terdiri dari remote
environment, proximate environment, operating environment. Kedua, plan
formulation yang mencakup process dan contents.
Dan Ketiga, plan
implementation yang mencakup facilitating conditiond dan impeding
conditions. Keterkaitan antara ketiga komponen atau bagian ini disajikan
dalam gambar seperti berikut ini:
Data dasar atau base line data untuk perencanaan pendidikan mempunyai
fungsi yang amat penting, sebab tanpa data perencanaan atau planners
tidak mungkin dapat mengembangkan perencanaan pendidikan yang
diperlukan.
Data dasar ini mencakup berbagai aspek bukan saja tentang
pendidikan tetapi juga data di luar pendidikan yang mempunyai
keterkaitan erat dengan pendidikan.
Karateristik data yang diperlukan
untuk pengembangan perencanaan pendidikan ini sesuai dengan sifat
perencanaan pendidikan yang multi disiplinair. Adapun data dasar yang
diperlukan dapat dikelompokkan seperti berikut ini:
1. Kependudukan mencakup struktur penduduk, distribusi penduduk menurut
daerah, pertumbuhan penduduk, populasi usia sekolah yang ada di dalam
sistem persekolahan dan yang berada di luar sistem, dan struktur
angkatan kerja berdasarkan kategori kerja dan pendidikan. Data ini
diperlukan untuk menentukan cakupan populasi yang perlu memperoleh
kesempatan pendidikan dalam kaitannya dengan kebutuhan pada berbagai
sektor pembangunan.
2. Data ekonomi mencakup anggaran pendapatan dan belanja negara, GNP,
Revenue Sources, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi
per tahun serta jumlah dan kecenderungan investasi terhadap pendidikan.
Data ini diperlukan dalam kaitannya dengan kemampuan ekonomi pemerintah
untuk memperluas kesempatan pendidikan dan untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas pendidikan dalam penggunaan sumber dana yang tersedia.
3. Kebijakan nasional yang merupakan keputusan politik mencakup falsafah
dan tujuan nasional, keputusan badan legeslatif negara yang harus
menjadi pegangan upaya pembangunan untuk seluruh sektor, dan falsafah
pendidikan yang dianut.
4. Data kependidikan mencakup enrollment untuk setiap jenjang dan jenis,
personel pendidikan yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan,
lulusan, drop out, perpindahan, kenaikan dari kelas atau tingkat yang
satu ke tingkat yang lain, kurikulum fasilitas pendidikan, dana
pendidikan, manajemen, dan output pendidikan.
5. Data ketenagakerjaan mencakup jumlah dan jenis Man Power yang
diperlukan dalam setiap sektor pembangunan, persyaratan kerjaan,
kelompok jenis kerja yang langka tapi amat diperlukan, dan kemampuan
pasaran kerja dalam merespon terhadap lulusan untuk memberikan
kesempatan kerja kepada mereka.
6. Nilai dan sosial budaya mencakup agama dengan pemeluknya, sistem
nilai yang berlaku dan dipegang oleh masyarakat, berbagai jenis dan
bentuk kebudayaan yang ada atau mungkin yang dapat digali dan
dikembangkan.
Data ini perlu sebagai imbangan terhadap data kuantitatif
dalam rangka pengembangan berbagai program akademik yang dijiwai oleh
nilai kemanusiaan yang luhur.
Pengumpulan data yang diperlukan di atas, dilakukan melalui survei
dengan kontrol yang ketat untuk memelihara kualitas data. Kegiatan
pengumpulan data ini dikaitkan dengan tahapan dalam proses perencanaan
untuk menentukan titik berangkat perencanaan. Dengan adanya data ini
segala keberhasilan, kekuatan, kesulitan, kelemahan dapat ditelusuri
sedemikian rupa hingga planner dapat mengembangkan titik berangkat
perencanaan sesuai dengan tahap yang telah dicapai.
Kegiatan ini lazim
disebut dengan Assessment of Needs kegian mengkaji kebutuhan yang perlu
dipenuhi dalam pembangunan pendidikan untuk periode berikutnya.
Penerapan teknik-teknik untuk mengkaji berbagai aspek-aspek kuantitatif
pendidikan dan untuk memproyeksi kecenderungan masa depan tidak dapat
dilakukan tanpa data dasar yang lengkap. Secara praktis tanpa data
kegiatan untuk menyusun perencanaan yang baik tidak dapat dilaksanakan.
Uraian ini menunjukkan bahwa kedudukan data dasar dalam proses
perencanaan begitu penting, hingga planner tidak mempunyai piliahan lain
kecuali memiliki data tersebut dalam mewujudkan tugasnya sebagai
perencana.
Kegiatan perencanaan adalah kegiatan yang sistemik sequensial, dan
karena itu kegiatan-kegiatan dalam proses penyusunan perencanaan dan
pelaksanaan perencanaan memerlukan tahapan-tahapan sesuai dengan
karakteristik perencanaan yang sedang dikembangkan. Banghart
mengembangkan tahapan perencanaan sebagai berikut ini:
1. Proloque: pendahuluan atau langkah persiapan untuk memulainya suatu
kegiatan perencanaan.
2. Identifying educational planning problems yang mencakup:
(a)
delineating the scope of educational problem atau menentukan ruang
lingkup permasalahan perencanaan,
(b) studying what has been atau
mengkaji apa yang telah direncanakan,
(c) determining what has been
versus what should be artinya membandingkan apa yang telah dicapai
dengan apa yang seharusnya dicapai,
(d) resources and contraints atau
sumber-sumber daya yang tersedia dan keterbatasannya,
(e) estabilishing
educational planning parts and priorities artinya mengembangkan
bagian-bagian perencanaan dan prioritas perencanaan.
3. Analizing planning problem area artinya mengkaji permasalahan
perencanaan yang mencakup:
(a) Study areas and systems of subareas
artinya mengkaji permasalahan dan sub permasalahan,
(b) gathering date
artinya pengumpulan data tabulating data atau tabulasi data,
(c) for
casting atau proyeksi.
4. Conceptualizing and designing plans, mengembangkan rencana yang
mencakup:
(a) identifying prevailing trends atau identifikasi
kecenderungan-kecenderungan yang ada,
(b) estabilishing goals and
objective atau merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus,
(c) designing
plans, menyusun rencana.
5. Evaluasting plan, menilai rencana yang telah disusun tersebut yang
mencakup:
(a) planning through simulation, simulasi rencana,
(b)
evaluating plan, evaluasi rencana, (c) selecting a plan, memilih
rencana.
6. Specifying the plan, menguraikan rencana yang mencakup:
(a) problem
formulation, merumuskan masalah,
(b) reporting result atau menysusun
hasil rumusan dalam bentuk final plan draft atau rencana terakhir.
7. Implementing the plan, melaksanakan rencana yang mencakup:
(a)
Program preparation, persiapan rencana operasional,
(b) plan approval,
legaljustification, persetujuan dan pengesahan rencana,
(c) organizing
operational units, mengatur aparat organisasi.
8. Plan feedback, balikan pelaksanaan rencana yang mencakup:
(a)
monitoring the plan, memantau pelaksanaan rencana,
(b) evaluation the
plan, evaluasi pelaksanaan rencana,
(c) adjusting, altering or planning
for what, how, and by whom yang berarti mengadakan penyesuaian,
mengadakan perubahan rencana atau merancang apa yang perlu dirancang
lagi bagaimana rancangannya, and oleh siapa (Banghart & Trull,
1973).
Gambaran tentang proses dan tahapan seperti berikut ini memberikan
penjelasan yang lebih komprehensif bukan saja keseluruhan proses dan
komponen yang terlibat didalamnya, tapi juga keterkaitan antar kegiatan
berbagai komponen dan unsur-unsur yang ada dalam proses tersebut.
Chesswas juga mengungkapkan proses dan tahapan perencanaan dalam bentuk
yang lebih sederhana dan logis. Proses dan tahapan tersebut adalah
seperti tercantum berikut ini:
1. Need assessment artinya kajian terhadap kebutuhan yang mencakup
berbagai aspek pembangunan pendidikan yang telah dilaksanakan,
keberhasilan, kesulitan, kekuatan, kelemahan, sumber-sumber yang
tersedia, sumber-sumber yang perlu disediakan, aspirasi rakyat yang
berkembang terhadap pendidikan, harapan, dan cita-cita yang merupakan
dambaan masyarakat. Kajian ini penting artinya karena membandingkan
antara what has been dan should be, yang merupakan pangkal tolak
kegiatan perencanaan.
2. Formulation of goals and objective: perumusan tujuan dan sasaran
perencanaan yang merupakan arah perencanaan serta merupakan penjabaran
operasional dari aspirasi filosofis masyarakat.
3. Policy and priority setting: penentuan dan penggarisan kebijakan dan
prioritas dalam perencanaan pendidikan sebagai muara need assessment.
4. Program and project formulation: rumusan program dan proyek kegiatan
yang merupakan komponen operasional perencanaan pendidikan.
5. Feasibility testing dengan melalui alokasi sumber-sumber yang
tersedia dalam hal ini terutama sumber dana. Biaya suatu rencana yang
disusun secara logis dan logis dan akurat serta cermat merupakan
petunjuk tingkat kelayakan rencana. Rencana dengan alokasi biaya yang
tidak akurat atau mengandalkan sumber daya luar negeri umpamanya,
dianggap tingkat feasibilitas yang kecil, karena tidak dibangun di atas
dasar kekuatan sendiri.
6. Plan implementation: pelaksanaan rencana untuk mewujudkan rencana
yang tertulis ke dalam perbuatan atau actions. Penjabaran rencana ke
dalam perbuatan inilah yang menentukan apakah suatu rencana itu
feasible, baik dan efektif.
7. Evaluation and revision for future plan: kegiatan untuk menilai
tingkat keberhasilan pelaksanaan rencana yang merupakan feedback untuk
merevisi dan mengadakan penyesuaian rencana untuk periode rencana
berikutnya.
Dengan adanya feedback seperti ini perencana memperoleh
iniput yang berharga untuk meningkatkan rencana untuk tahun-tahun
berikutnya (Chesswas, 1973).
Proses perencanaan yang diuraikan oleh Banghart lebih kompleks dan
detail dibandingkan dengan proses perencanaan yang dikembangkan oleh
Chesswass. Yang tersebut terakhir ini lebih sederhana tapi menuju
sasarannya.
Berdasarkan telaah terhadap tahapan dalam proses perencanaan yang
dikemukakan oleh kedua ahli di atas tampaknya secara sederhana proses
perencanaan terdiri beberapa komponen utama yang esensial yang secara
prinsipil tidak dapat ditinggalkan. Komponen-komponen itu adalah sebagai
berikut:
1. Kajian terhadap hasil perencanaan pembangunan pendidikan periode
sebelumnya sebagai titik berangkat perencanaan.
2. Rumusan tentang tujuan umum perencanaan pendidikan yang merupakan
arah yang harus dapat dijadikan titik tumpu kegiatan perencanaan.
3. Rumusan kebijakan atau posisi yang kemudian dapat dijabarkan ke dalam
strategi dasar perencanaan yang merupakan respon terhadap cara
mewujudkan tujuan yang ditentukan.
4. Pengembangan program dan proyek sebagai operasionalisasi prioritas
yang ditetapkan.
5. Schedulling dalam arti mengatur menemukan dua aspek yaitu keseluruhan
program dan prioritas secara teratur dan cermat karena penjadwalan ini
secara makro mempunyai arti tersendiri yang amat strategik bagi
keseluruhan pelaksanaan perencanaan.
6. Implementasi rencana termasuk didalamnya proses legalisasi dan
persiapan aparat pelaksana rencana, pengesahan dimulainya suatu
kegiatan, monitoring dan controlling untuk membatasi kemungkinan
tindakan yang tidak terpuji yang dapat merupakan hambatan dalam proses
pelaksanaan rencana.
7. Evaluasi dan revisi yang merupakan kegiatan evaluasi untuk menentukan
tingkat keberhasilan dan kegiatan untuk mengadakan
penyesuaian-penyesuaian terhadap tuntutan baru yang berkembang.
Bila ketiga model proses yang diuraikan di atas dibandingkan, maka
terlihat dengan nyata adanya unsur-unsur esensial yang sama dalam proses
pengembangan rencana pembangunan pendidikan.
Dengan adanya unsur-unsur
yang sama tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peoses
perencanaan adalah suatu proses yang diakui perlu dijalani secara
sistematik dan berurutan karena keteraturan itu merupakan proses
rasional sebagai salah satu property perencanaan pendidikan.
C. Evaluasi dan Monitoring dalam Perencanaan
Walaupun perencanaan sudah sejak lama mempunyai fungsi penting dalam
perumusan kebijakan dalam berbagai bentuknya, namun sebagai bidang
spesialisasi, baru muncul sejak dua puluh lima tahun terakhir terutama
bila dikaitkan sebagai tool untuk pembangunan pendidikan.
Menurut
beberapa hasil survei negara-negara OECD (1980), hingga saat ini
terdapat proses evolusi alam berpikir tentang perencanaan dari satu
tahap menuju tahap lain.
Tujuan pendidikan yang sifatnya eksternal adalah:
1. Pemenuhan kebutuhan tenaga kerja.
2. Pemerataan kesempatan pendidikan.
3. Meningkatkan efisiensi.
Tujuan pertama menempati prioritas utama, karena tanpa dukungan tenaga
kerja terampil pembangunan ekonomi amat sukar dilaksanakan.
Tujuan
kedua, merupakan aspirasi pembebasan yang sifatnya politik dan merupakan
tuntutan demokratik atau kerakyatan. Compulsary Education atau wajib
belajar, merupakan perwujudan dari tujuan kedua ini. Tujuan ketiga,
merupakan prasyarat untuk mewujudkan tujuan pertama dan kedua dalam
usaha utilisasi dana secermat mungkin.
Tiga tujuan eksternal ini membuka
kemunculan tiga pendekatan klasik dalam perencanaan pendidikan, yaitu:
(a) pendekatan ketenagaan atau Man Power Approach dan pendekatan
keuntungan ekonomi atau Rate of Return Approach. Pendekatan pertama dan
kedua menguasai alam pikiran pembangunan pendidikan hingga tahun enam
puluhan. Pendekatan-pendekatan ini menampilkan dua jenis perencanaan
pendidikan yang disebut:
(b) Technocratic Planning, dan
(c) Political
atau Conflictual Education Planning (OECD, 1980).
T
echnocratic Educational Planning memisahkan secara konseptual dan
praktis fungsi perencanaan dan pembuat keputusan atau antara Planning
Team dengan Policy Making Group. Pembuat kebijakan menentukan tujuan
atau sasaran strategis, sedangkan perencana menjabarkan tujuan strategis
ini ke dalam rumusan yang lebih operasional merumuskan cara-cara yang
tepat untuk mewujudkan tujuan itu.
Political Education Planning tidak mempertimbangkan kehadiran pembuat
kebijakan dalam menentukan sasaran strategis, tetapi tujuan-tujuan
tersebut sebenarnya produk Pressure Group atau Lobbist yang kuat, hingga
menghasilkan rumusan-rumusan tersebut.
Fungsi perencana dalam hal ini
adalah ini adalah bukan menyusun rencana untuk mewujudkan tujuan-tujuan
yang dihasilkan oleh Pressure Group itu tapi sebagai perantara antara
berbagai Interest Groups yang bersaing dan terlihat. Adalah Planner yang
harus menguasai perbedaaan-perbedaan Interest Groups tersebut agar
dapat mengakomodasikan semua interest hingga mengembangkan policy
sebagai produk semua tekanan-tekanan tersebut.
Pendekatan politik ini
kurang memperhatikan perencanaan jangka panjang, tapi hanya
memperhatikan perencanaan jangka pendek saja.
Pada tahun enam puluhan telah terjadi perubahan yaitu penggarapan atau
Shift dari Man Power Approach menuju Social Demand Approach. Perubahan
ini didasarkan atas asumsi bahwa melalui Social Demand Approach, secara
otomatis kebutuhan akan ketenagaan akan terpenuhi dan mengesampingkan
faktor-faktor yang tak dapat diramalkan pada pasaran kerja.
Shift di atas juga didasarkan atas keyakinan bahwa tujuan pendidikan
eksternal yaitu pemerataan pendidikan hanya dapat dicapai melalui
pendekatan sosial yang terus menerus menyelenggarakan usaha perluasan
kesempatan pendidikan bagi setiap warga negara. Sistem pendidikan juga
telah berusaha mencapai tujuan internalnya melalui System Growth,
walaupun ini tidak berarti secara langsung dapat mewujudkan pencapaian
tujuan pendidikan yang lain yaitu kebutuhan ketenagaan dan efisiensi.
Beberapa hasil pengamatan menunjukkan bahwa internal Goals sistem
pendidikan yaitu Growth dan Well Being itu menggunakan planning untuk
menciptakan consistency dalam perluasan pendidikan, dibandingkan dengan
sebagai alat perubahan.
Perubahan alam berpikir politis turut membawa pengaruh terhadap praktek
perencanaan. Pemerintahan suatu negara yang merupakan hasil pemilihan
mayoritas rakyat, dalam praktek mengembangkan Quantitative dan
Authoritative Planning atau yang disebut Rational Planning.
Sedangkan
pluralisme politik (seperti pemerintahan koalisi) mempunyai
kecenderungan untuk seoptimal mungkin mengikutsertakan berbagai kekuatan
politik dalam menentukan kebijakan-kebijakan mendasar, memerlukan apa
yang disebut Participatory Planning atau Perencanaan Partisipasif. Gerakan perencanaan partisipasif ini terutama terasa kuat pada akhir
tahun enam puluhan ketika dimana-mana bermunculan protes rakyat,
khususnya mahasiswa tentang kebijakan pendidikan. Mereka dengan didukung
oleh kekuatan politik, menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang
pendidikan tidak mencerminkan aspirasi pendidikan mereka.
Protes-protes
baik langsung maupun tidak, kelompok-kelompok masyarakat ini
menggerakkan kekuatan politik untuk lebih aktif dalam proses pengambilan
keputusan, karena Participatory Planning memperoleh giliran untuk naik
ke permukaan.
Trend sekarang adalah di negara-negara dengan sistem pemerintahan yang
sentralistis, dengan pemerintah hasil pemilihan mayoritas, Participatory
Planning tidak berhasil untuk menggeser Quantitative-Authoritative
Planning. Sebaliknya di negara-negara yang sistem pemerintahannya
desentralisasi, Participatory Planning mendapat tempat yang baik
terutama pada tingkat lokal.
Kogan (OECD, 1980) mengemukakan bahwa Participatory Planning ini muncul
dengan asumsi sebagai berikut:
1. Perluasan struktur kekuatan dalam usaha meningkatkan kemampuan
pusat-pusat pembuat keputusan untuk merespon terhadap kebutuhan
pendidikan dan aspirasi rakyat dengan lebih efektif lagi.
2. Pengayaan informasi dasar untuk pembuatan keputusan yang efektif
dengan jalan memberikan kesempatan kepada rakyat secara langsung atau
melalui badan-badan atau kekuatan politik yang ada untuk mengutarakan
nilai-nilai, tujuan, harapan, dan aspirasi pendidikan.
3. Nilai edukatif dari keikutsertaan dalam proses Decision Making baik
bagi rakyat, kekuatan politik mapun sistem pendidikan itu sendiri.
Dengan asumsi di atas tampak bahwa Participatory Planning merupakan
gerakan demokratis, yang memunculkan tipe baru planning dengan sebutan
Bottom Up Planning. Persoalan pokok yang muncul adalah pemisahan antara
Planning dari Policy Making Process dalam struktur kekuasaan,
mempengaruhi Participatory Planning ini. Esensi Participatory Planning
adalah agar perencanaan dan Policy Making dapat menyatu hingga dalam
praktek, kesulitan-kesulitan yang muncul dapat dihindarkan. Pemisahan
seperti di atas dalam Technocratic Planning begitu jelas, hingga acap
kali timbul konflik antara Policy Making Group dengan Plan.
Kecemasan terhadap kemunculan Participatory Planning adalah orientasinya
yang bersifat jangka pendek yang tidak cocok dengan proses pendidikan
yang merupakan proses jangka panjang yang menentukan generasi mendatang.
Orientasi jangka pendek dari sisi ini jelas tidak menguntungkan
pertumbuhan generasi mendatang.
Adapun kritik terhadap Technocratic Planning adalah terlalu menekankan
pada model Quantitave Analysis dengan ketentuan yang ketat hingga
mengurangi fleksibilan sistem pendidikan dalam merespon terhadap segala
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.
Perbedaan antara Technocratic Planning dan Participatory Planning
merupakan dilemma karena kedua jenis planning ini mempunyai asumsi yang
valid.
Persoalan yang muncul adalah sejauh mana Quantitative Analysis
itu dapat dikurangi dan sejauh mana orientasi jangka pendek dari
Participatory Planning dapat dieliminir hingga planning tetap bukan alat
untuk mewujudkan kepentingan politik tertentu tapi alat untuk membangun
bangsa. Perpaduan antara kedua jenis planning yang tumbuh dalam praktek
ini diperlukan karena akan menentukan posisi dan peran perencanaan
pendidikan pada masa mendatang.
Dari kajian yang telah diungkap dari evolusi Educational Planning baik
secara teori mapun praktek, tampak beberapa faktor penting yang berperan
dalam proses evolusi ini. Faktor-faktor tersebut adalah:
(a) interest
berbagai kekuatan politik dalam sistem politik yang dianut yang
masing-masing negara,
(b) struktur sistem manajemen pendidikan yang
dianut,
(c) berbagai disiplin ilmu yang mewarnai corak praktek
Educational Planning.
Struktur politik berpengaruh pada kemunculan Technocratic Planning dan
Participatory Planning dan perannya dalam Policy Decisions untuk
pembangunan pendidikan seperti telah diuraikan terdahulu. Sistem
administrasi pendidikan nasional menentukan secara praktis tempat dan
posisi planning.
Pada negara dengan sistem pemerintahan yang
sentralistis, umpamanya, letak planning berada pada Kemeterian
Pendidikan di tingkat nasional. Keterkaitan antara Planning dan Policy
Decision dapat terlihat dengan jelas pada tingkat nasional ini.
Sebaliknya pada negara dengan sistem desentralisasi, planning terletak
pada tingkat pusat dan tingkat daerah (lokal), dengan tanggung jawab
yang berbeda sesuai dengan pembagian kekuasaan yang ada.
Berbagai disiplin ilmu tampak jelas mempengaruhi substansi planning
dalam proses pertumbuhannya. Disiplin ekonomi mula-mula mendominir
perencanaan, kemudian muncul sosiologi dalam proses evolusi teori
perencanaan.
Operation Research dan Systems Theory mempengaruhi teknik Quantitative
perencanaan pada Technocratic Planning. Terakhir pendidikan dan ilmu
politik masuk ke dalam perencanaan dan menyebabkan adanya Shift
(pergeseran) dari Technocratic Planning dengan orientasi kuantitatif
menuju Conflictual Planning dengan orientasi pada aspek kualitatif.
Evaluasi pada dasarnya menegaskan begitu pentingnya perencanaan
pendidikan dan hasil-hasil potensialnya sesuai dengan kebutuhan, lebih
jauh sebaiknya evaluasi muncul sepanjang proses perencanaan. Pada
sejumlah kasus evaluasi parsial dibuat dengan menggunakan uji-uji
kuantitatif atau pembenarannya didasarkan pada pengalaman untuk menolak,
memodifikasi, mengkombinasi, atau menerima hasilnya.
Perencana pendidikan harus mengetahui nilai-nilai relatif yang
dimasukkan ke dalam berbagai sasaran yang dibuat untuk perencanaan.
Tidak hanya mengetahui nilai-nilai yang menjadi fokus perhatian, tetapi
juga yang ada pada latar belakang yang sebaiknya tidak mengganggu
sementara itu sasaran-sasarannya tercapai. Karena itu, teknik evaluasi
tidak sederhana.
Salah satu kunci yaitu bagaimana seorang perencana disiapkan untuk
mengorbankan pandangannya untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu agar
mencapai sasaran-sasaran lainnya lebih baik. Jenis evaluasi ini sangat
susah dan membuat banyak kesulitan bagi perencana yag tidak akrab dengan
manfaat teori.
Beberapa evaluasi komparatif dibuat jika sebuah perubahan muncul yang
diakibatkan oleh tindakan yang direncanakan.
Akibatnya mungkin dapat
diantisipasi atau tidak dapat diantisipasi, tetapi mungkin dapat
dievaluasi hanya berkaitan dengan hasil-hasilnya.
Ini pada akhirnya
dapat diungkapkan pada banyak kesempatan sebagai keuntungan atau biaya
tergantung pada model-model kepentingan masyarakat yang terlibat.
Sasaran-sasaran kepentingan masyarakat ini sebagai sebuah tujuan tunggal
terakhir.
Di dalam situasi yang demokratis sebuah kepentingan umum mungkin
terlihat samar-samar, untuk masyarakat yang beragam dapat diterapkan
tanpa memandang kepentingan individu.
Dengan demikian evaluasi dapat
muncul dalam tiga cara, yaitu: (a) cara pandang utilitarian, kepentingan
publik dapat ditentukan oleh pendapatan dan pengeluaran, bergantung
pada apa yang sangat penting bagi individu yang berbeda,
(b) cara quasi
utilitarian menganggap manfaat untuk individu relevan dengan jumlahnya,
tetapi nilai terbesar diberikan kepada beberapa orang yang tertarik
daripada yang lainnya,
(c) cara individu yang berkualitas, dalam hal
lain menganggap bahwa akhir dari kepentingan publik sebagai pertimbangan
dari banyak pilihan kelas-kelas tertentu yang mempertimbangkan dengan
tepat.
Mekanisme sebaiknya dipilih untuk pengevaluasian,sehingga hasilnya
menjadi sangat memuaskan. Mula-mula evaluasi mengenai nilai harus
dijalankan, bentuk dasar harus ditentukan dan sasaran harus dikurangi
kesamarannya, sehingga menjadi kongkrit. Kedua, pandangan waktu ke depan
harus tepat. Dalam perencanaan jangka pendek penggunaan niali-nilai
yang dipilih harus diterima secara politis, sehingga perencanaan dapat
diimplementasikan. Perencanaan jangka menengah maksudnya menyeleksi
nilai-nilai hasil pendidikan atau Public Relation yang dapat ditolak,
yang tentu saja menjadi kepentingan masyarakat. Perencanaan jangka
panjang harus dievaluasi di dalam bentuk baku, baru atau program radikal
dari efektivitas pendidikan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Beberapa metode identifikasi nilai untuk evaluasi telah tersedia. Ini
berisi mengenai opini masyarakat, survei antrapologi, dan dengar
pendapat, interview dengan pemimpin non formal, analisis yang menekankan
isi, belajar ukuran dan undang-undang pembelajaran yang baru, tingkah
laku administratif dan pembelajaran dan anggaran sekolah terdahulu.
Karena evaluasi menggunakan keseluruhan urutan pendidikan, gagasan
berkaitan dengan sasaran yang tepat sangat tergantung pada inti masalah
tugas perencana pendidikan. Jadi evaluasi terhadap sasaran-sasaran ini
harus diberikan pertama-tama dengan menekankan pada proses perencanaan
pendidikan yang komprehensif.
Banyak kerja pada bidang evaluasi diakui dan berada pada level filosofis
yang tinggi. Aspek praktis dari sasaran-sasaran membawa pada
definisi-definisi dan detail operasional masalah evaluasi. Metode teknis
yang dibahas lebih dapat diterima dan makin sering digunakan oleh para
perencana pendidikan.
D. Analisis dan Proyeksi Kebutuhan dan Penyediaan Guru dan Staf
Kebutuhan tenaga guru (teacher demand) adalah tuntutan pemakai jasa
profesional guru untuk memberikan pelayanan pendidikan terhadap anak
didik pada lembaga pendidikan pemakai jasa guru itu. Kebutuhan akan
tenaga guru untuk memberikan pelayanan pendidikan ini harus memenuhi
persyaratan tertentu untuk menjamin bahwa pelayanan yang dituntut itu
sesuai dengan harapan pemakai. Persyaratan ini begitu penting karena
penyelenggara pendidikan menuntut keahlian profesional yang tidak setiap
orang dapat memenuhi persyaratan tersebut.
Penyediaan tenaga guru (teacher supply) adalah upaya profesional lembaga
pendidikan guru untuk memenuhi tuntutan akan tenaga guru dari lembaga
pemakai jasa guru. Untuk dapat memenuhi persyaratan tuntutan dari
lembaga pemakai, lembaga pendidikan guru sebagai penyedia atau prosedur
harus memperlihatkan persyaratan profesional yang diminta oleh pemakai.
Karena itu upaya pemenuhan inipun perlu dilaksanakan secara profesioanl
pula hingga produk yang dihasilkan dapat memenuhi tuntutan lapangan.
Berdasarkan batasan konsep demand dan supply seperti diutarakan di atas,
terlihat adanya berbagai faktor esensial di dalam konsep demand dan
supply itu.
Pada komponen demand unsur-unsur penting yang perlu
diperhatikan adalah guru untuk bidang apakah, untuk jenis dan jenjang
pendidikan yang mana, dengan kualifikasi apa, tugas-tugas apa saja yang
harus dilaksanakan, dan juga jaminan-jaminan apakah yang dapat
disediakan sebagai imbalan pelayanan yang diberikan oleh guru.
Pada komponen supply, unsur-unsur esensial yang perlu mendapat perhatian
adalah: guru apa dan dengan kualifikasi tingkat mana yang perlu
disiapkan, apakah stock guru cukup tersedia, program yang bagaimanakah
yang dapat memenuhi persyaratan kualitatif ketenagaan guru yang
diperlukan, berapa jumlah guru yang perlu disiapkan, sikap profesional
guru yang bagaimanakah yang perlu dibina untuk calon guru tersebut.
Uraian di atas menunjukkan bahwa hukum demand dan supply dalam bidang
ekonomi tampaknya juga berlaku untuk demand dan supply tenaga guru.
Keterkaitan antara demand dan supply disajikan secara komprehensif pada
gambar atau diagam di bawah ini.
Demand dan supply yang sempurna adalah apabila supply memenuhi
keseluruhan persyaratan demand baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Keseimbangan yang seperti ini dalam hukum demand dan supply
disebut “perfect equilibrium” (Gaffar, 1980).
Keadaan perfect
equilibrium ini amat sulit dicapai karena terdapat berbagai faktor yang
sulit terdapat berbagai factor yang sulit dikendalikan baik pada
komponen demand maupun pada komponen supply.
Analisis demand dan supply yang lebih mendalam amat penting bagi
perencana karena dengan mengkaji lebih terperinci terhadap kedua
komponen ini dapat mengungkap berbagai faktor dinamis yang berpengauh
terhadap demand dan supply.
Demand dan supply adalah dinamis karena
faktor-faktor internal dan eksternal yang secara dominan mempengaruhi
itu terus berubah dan berkembang.
Faktor-faktor yang terus menerus mempengaruhi demand adalah kurikulum
yang diberlakukan di sekolah sebagai pemakai guru. Kurikulum sekolah
memang harus dinamis dan karenanya terus tumbuh mempengaruhi kompetensi
guru yang diperlukan. Pertumbuhan enrollment juga berpengaruh terhadap
aspek kuantitaif demand, demikian pula beban mengajar, dan beban studi
murid. Standar mutu pendidikan di sekolah juga selalu hidup dan
berkembang pula. Karakteristik proses pendidikan pada tingkat sekolah
inilah yang menyebabkan terjadinya dinamika dalam demand karena guru itu
sendiri harus selalu mampu merespon terhadap segala tuntutan yang
berkembang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi supplypun juga berubah dan berkembang
terus. Program pendidikan guru juga terus berkembang yang tidak selalu
merujuk pada karakteristik demand di sekolah, tapi merujuk kepada
pertumbuhan masyarakat luas, karena guru itu merupakan konsep yang
terbuka. Kurikulum pendidikan guru juga terus berkembang mengikuti irama
perkembangan ilmu dan teknologi.
Nilai ekonomi lulusan pendidikan guru pada pasaran kerja yang relative
rendah bila dibandingkan dengan profesi lain, mengurangi jumlah stock
calon guru.
Minat, bakat, dan perhatian setiap calon guru yang memasuki
pendidikan guru juga bervariasi, dengan demikian distribusi enrollment
pada lembaga pendidikan guru sulit dikendalikan untuk disesuaikan dengan
trend kebutuhan pada lembaga pemakai. Karena itu dapat dimengerti
bilamana guru untuk bidang studi tertentu berlebih sedang sedang untuk
bidang lainnya amat sulit diperoleh. Kemampuan individual calon guru
tidak sama, karena itu kualitas lulusan juga tidak merata. Seluruh
gambaran ini memberikan uraian bahwa discrepancy antara demand dan
supply sulit dihindari.
1. Menghitung Kebutuhan Guru
Menghitung kebutuhan guru pada suatu lembaga atau sistem memerlukan data
dasar yang mencakup:
a. Enrollment sekolah
b. Jumlah jam perminggu yang diterima murid seluruh mata pelajaran atau
mata pelajaran tertentu.
c. Beban mengajar penuh guru perminggu
d. Besar kelas yang dianggap efektif untuk menerima suatu mata pelajaran
e. Jumlah guru yang ada
f. Jumlah guru yang akan pensiun atau berhenti atau karena sesuatu hal
akan meninggalkan jabatan keguruan.
g. Jenis sekolah dan jenjang sekolah yang memerlukan guru.
Menghitung kebutuhan total guru untuk suatu jenis sekolah atau tingkat
sekolah tertentu tidaklah sulit asalkan data dasar yang diperlukan di
atas tersedia. Formula umum menghitung kebutuhan guru adalah:
Formula di atas dapat ditulis dengan notasi seperti berikut:
Formula di atas dapat dipergunakan untuk menghitung jumlah kebutuhan
guru secara umum atau untuk tiap bidang studi.
Contoh:
Kebutuhan guru untuk suatu bidang studi tertentu dapat dihitung dengan
contoh berikut.
2. Menghitung Kekurangan Guru
Perhitungan kebutuhan guru dengan menggunakan formula sederhana telah
diuraikan terdahulu menunjukkan adanya kemungkinan untuk merubah
variabel tertentu bilamana resources untuk pengadaan guru tidak mungkin
disediakan.
Dalam keadaan terbatas resources ini umpamanya besar kelas tidak 40 dan
tidak diperbesar menjadi 50, dengan demikian jumlah guru yang diperlukan
sudah dapat ditekan tanpa berpengaruh terhadap kualitas pendidikan.
Beban mengajar guru yang sedianya ditentukan 24 jam perminggu, tapi
karena keterbatasan resources beban mengajar dapat ditambah dan
karenanya jumlah guru dapat ditekan. Pilihan seperti ini dapat saja
diambil oleh planners bilamana resources memang dalam keadaan yang amat
terbatas. Pilihan inipun dapat pula dipertimbangkan pada waktu
menghitung kekurangan guru.
Menghitung kekurangan guru atau teacher shortage adalah langkah lanjutan
dari menghitung kebutuhan total guru. Langkahnya adalah:
a. Ambilah data tentang jumlah guru yang ada berdasarkan klasifikasi
jenis kelamin, lama bekerja sebagai guru, usia, kualifikasi atau ijazah
tertinggi yang diperoleh, beban mengajar dan bidang spesialisasi.
Kesemua data ini penting untuk menentukan kekurangan guru dalam arti
full time, fully qualified.
b. Identifikasi jumlah guru yang akan pensiun pada tahun dalam periode
perencanaan yang telah ditentukan.
c. Identifikasi jumlah guru yang karena sesuatu hal akan meninggalkan
tempat bekerja sekarang (karena dipindahkan, diberikan kesempatan untuk
studi dan seterusnya).
d. Identifikasi apakah ada guru yang belum fully qualified.
e. Identifikasi jumlah guru yang beban mengajarnya tidak penuh seperti
guru part time atau honorer.
f. Kembangkan standar atau rambu-rambu untuk menentukan kekurangan guru,
yang mencakup: apakah besar kelas tetap berdasarkan kebijakan yang
berlaku saat itu; apakah beban mengajar guru akan berubah; apakah besar
kelas akan bertambah; apakah jumlah beban studi murid akan dikurangi;
apakah guru yang kualifikasinya belum memenuhi standar akan diberikan
kesempatan untuk meneruskan studi.
Berdasarkan langkah-langkah di atas kemudian komputasi dilakukan dengan
menggunakan formula kekurangan guru sebagai berikut:
Dengan notasi formula dapat ditulis sebagai berikut:
KG = kekurangan guru
KGT = kebutuhan guru total
GA = guru yang ada
GP = guru yang akan pensiun
GK = guru yang karena sesuatu alasan akan keluar
GS = guru yang karena belum fully qualified akan meneruskan studi
Contoh:
Bila guru yang ada setelah dikurangi dengan berbagai kelompok guru yang
karena macam-macam alasan tidak dapat bertugas lagi pada sekolah atau
sistem itu lebih besar dari kebutuhan total guru, maka terjadilah
kelebihan guru. Bila ini terjadi, maka artinya tidak ada demand terhadap
guru.
3. Proyeksi Kebutuhan Guru
Proyeksi kebutuhan guru untuk tiap tahun selama periode perencanaan
tertentu harus seiring dengan proyeksi enrollment, disertai dengan
asumsi-asumsi tentang beban studi murid, beban mengajar guru, besar
kelas, dan estimasi jumlah guru yang akan pensiun, pindah atau keluar
atau meneruskan studi pada tahun-tahun dalam periode perencanaan yang
telah ditentukan itu. Formula yang digunakan masih tetap formula yang
dipergunakan dalam menghitung kebutuhan dan kekurangan guru seperti
telah diuraikan dengan cukup terperinci pada bagian terdahulu. Proyeksi
ini didasarkan atas trend dan data dasar guru beberapa tahun sebelumnya.
4.Penyediaan Guru (Teacher Supply)
Perhitungan supply guru berorientasikan pada pemenuhan demand terhadap
guru yang merupakan target yang harus secara optimal dipenuhi. Lembaga
yang diberi tugas untuk mempersiapkan tenaga guru di Indonesia adalah
Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK).
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengkaji atau mengadakan
evaluasi terhadap institusional capability lembaga pendidikan yang
diberi tugas dan tanggung jawab untuk mempersiapkan tenaga guru.
Hasil
evaluasi itu dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengukur sejauh
manakah lembaga tersebut mempunyai kemampuan untuk memenuhi tuntutan
tenaga guru pada periode perencanaan yang telah ditentukan itu. Evaluasi
perlu dipusatkan pada hal-hal berikut:
a.Stock calon guru atau enrollment mahasiswa calon guru pada lembaga
pendidikan guru;
b.Lulusan tiap tahun untuk selama enam tahun yang lalu untuk melihat
kecenderungan produksi lembaga itu;
c.Jenis dan jenjang program yang tersedia;
d.Kemampuan produksi tiap produksi tiap program yang ada itu;
e.Resources yang tersedia untuk memungkinkan pengembangan pada
tahun-tahun berikutnya.
Analisis kuantitatif enrollment sekolah pendidikan guru
tidak berbeda dengan analisis enrollment pada sekolah-sekolah umum yaitu
dengan menggunakan enrollment flow model atau dengan menggunakan cohort
survival model Chesswas, atau dengan menggunakan komputer enrollment
flow model Davis.
Hasil evaluasi dan analisis institusional kemampuan
sekolah pendiidkan guru adalah dasar untuk menentukan pengembangan
lembaga tersebut untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru pada
sekolah-sekolah, pemakai jasa guru. Perhitungan kenaikan rata-rata
pertahun, pengulang per tahun dan dropouts pertahun, dapat dijadikan
pegangan sebagai dasar proyeksi penyediaan guru pada beberapa tahun
mendatang. Karena lulusan sekolah pendidikan guru ini dikaitkan dengan
tuntutan guru di lapangan, maka proyeksi supply guru menggunakan target
setting approach, yaitu dengan dimulai dari beberapa jumlah lulusan yang
diperlukan untuk memenuhi secara optimal tuntutan guru di lapangan. Hal
ini dapat mengambil jumlah kebutuhan guru harus sama dengan jumlah
lulusan yang akan terjun kepada profesi keguruan dengan memperhitungkan
jumlah lulusan yang tidak terjun kepada profesi keguruan. Perbandingan
antara trend lulusan sekolah pendidikan guru pada enam tahun terakhir
dan trend kebutuhan guru pada kurun waktu yang sama dapat memberikan
gambaran untuk menentukan langkah selanjutnya
No comments:
Post a Comment