Mengingat peranan strategis guru dalam setiap
upaya peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan, maka pengembangan
profesionalisasi guru merupakan kebutuhan. Benar bahwa mutu pendidikan bukan
hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana,
manajemen, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Akan tetapi seberapa banyak
siswa mengalami kemajuan dalam belajarnya, banyak tergantung kepada kepiawaian
guru dalam membelajarkan siswa.
A. Hakekat Pembinaan dan
Pengembangan Profesional
Pembinaan dan pengembangan profesionalisasi guru
dan staf sekolah dilakukan berdasarkan kebutuhan institusi, kelompok, maupun
individu guru dan staf sendiri. Dari perspektif institusi, pengembangan guru
dan staf dimaksudkan untuk merangsang, memelihara, dan meningkatkan kualitas
staf dalam memecahkan masalah-masalah keorganisasian. Selanjutnya dikatakan
juga bahwa pengembangan guru berdasarkan kebutuhan institusi adalah penting,
namun hal yang lebih penting adalah berdasar kebutuhan individu guru dan staf
untuk menjalani proses profesionalisasi. Karena substansi kajian dan konteks
pembelajaran selalu berkembang dan berubah menurut dimensi ruang dan waktu,
guru dituntut untuk selalu meningkatkan kompetensinya.
Profesi keguruan mempunyai tugas utama melayani
masyarakat dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan itu, jelas kiranya bahwa
profesionalisasi dalam bidang keguruan mengandung arti peningkatan segala daya
dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal layanan yang akan diberikan
kepada masyarakat.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan saat ini, maka profesionalisasi guru (pendidik) merupakan suatu keharusan, terlebih lagi apabila kita melihat kondisi objektif saat ini berkaitan dengan berbagai hal yang ditemui dalam melaksanakan pendidikan, yaitu:
(1) perkembangan IPTEK,
(2) persaingan global bagi lulusan pendidikan,
(3) otonomi daerah, dan
(4) implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Untuk meningkatkan mutu pendidikan saat ini, maka profesionalisasi guru (pendidik) merupakan suatu keharusan, terlebih lagi apabila kita melihat kondisi objektif saat ini berkaitan dengan berbagai hal yang ditemui dalam melaksanakan pendidikan, yaitu:
(1) perkembangan IPTEK,
(2) persaingan global bagi lulusan pendidikan,
(3) otonomi daerah, dan
(4) implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Perkembangan IPTEK yang cepat, menuntut setiap
guru dihadapkan pada penguasaan hal-hal baru berkaitan dengan materi
pembelajaran atau pendukung pelaksanaan pembelajaran seperti penggunaan
internet untuk pembelajaran, program multimedia, dan lain sebagainya.
Diberlakukannya pasar bebas melalui NAFTA
mengindikasikan bahwa setiap lulusan pendidikan di Indonesia akan dipersaingkan
dengan lulusan dari sekolah-sekolah yang berada di Asia. Kondisi ini semakin
memaksa guru untuk segera dan dengan cepat memiliki kualifikasi dan
meningkatkannya untuk nantinya bisa menghasilkan lulusan yang kompeten.
Kebijakan otonomi daerah telah memberikan
perubahan yang mendasar terhadap berbagai sektor pemerintahan, termasuk dalam
pendidikan. Pengelolaan pendidikan secara terdesentralisasi akan semakin
mendekatkan pendidikan kepada stakeholders
pendidikan di daerah dan karena itu maka guru semakin dituntut untuk
menjabarkan keinginan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan
melalui kompetensi yang dimilikinya.
Pencanangan implementasi KTSP menunjukkan bahwa
kualifikasi profesionalisme harus benar-benar dimiliki oleh setiap guru apabila
menginginkan lulusan yang memiliki kompetensi sebagaimana diharapkan.
Lebih khusus lagi, Sanusi et.al (1991:24)
mengajukan enam asumsi yang melandasi perlunya profesionalisasi dalam
pendidikan, yakni sebagai berikut:
1. Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan, yang dapat dikembangkan segala potensinya: sementara itu pendidikan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia.
2. Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara sadar dan bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara universal, nasional, maupun lokal, yang merupakan acuan para pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan.
3. Teori-teori pendidikan merupakan kerangka hipotesis dalam menjawab permasalahan pendidikan.
4. Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan potensi unggul tersebut.
5. Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi di mana terjadi dialog antara peserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan peserta didik tumbuh ke arah yang dikehendaki oleh pendidik dan selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat.
6. Sering terjadinya dilema antara tujuan utama pendidikan, yakni menjadikan manusia sebagai manusia yang baik, dengan misi instrumental yakni merupakan alat untuk perubahan atau mencapai sesuatu.
1. Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan, yang dapat dikembangkan segala potensinya: sementara itu pendidikan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia.
2. Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara sadar dan bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara universal, nasional, maupun lokal, yang merupakan acuan para pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan.
3. Teori-teori pendidikan merupakan kerangka hipotesis dalam menjawab permasalahan pendidikan.
4. Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan potensi unggul tersebut.
5. Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi di mana terjadi dialog antara peserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan peserta didik tumbuh ke arah yang dikehendaki oleh pendidik dan selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat.
6. Sering terjadinya dilema antara tujuan utama pendidikan, yakni menjadikan manusia sebagai manusia yang baik, dengan misi instrumental yakni merupakan alat untuk perubahan atau mencapai sesuatu.
B. Prinsip-prinsip Pembinaan dan
Pengembangan Personil Sekolah
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam
penyelenggaraan pengembangan SDM pendidikan, yaitu:
1. Dilakukan untuk semua jenis tenaga kependidikan (baik untuk tenaga struktural, fungsional, maupun teknis)
2. Berorientasi pada perubahan tingkah laku dalam rangka peningkatan kemampuan profesional dan untuk teknis pelaksanaan tugas harian sesuai posisi masing-masing.
3. Dilaksanakan untuk mendorong meningkatnya kontribusi setiap individu terhadap organisasi pendidika
4. Dirintis dan diarahkan untuk mendidik dan melatih seseorang sebelum maupun sesudah menduduki jabatan/posisi
5. Dirancang untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan dalam jabatan, pengembangan profesi, pemecahan masalah, kegiatan-kegiatan remedial, pemeliharaan motivasi kerja, dan ketahanan organisasi pendidikan.
6. Pengembangan yang menyangkut jenjang karier sebaiknya disesuaikan dengan kategori masing-masing jenis tenaga kependidikan itu sendiri.
1. Dilakukan untuk semua jenis tenaga kependidikan (baik untuk tenaga struktural, fungsional, maupun teknis)
2. Berorientasi pada perubahan tingkah laku dalam rangka peningkatan kemampuan profesional dan untuk teknis pelaksanaan tugas harian sesuai posisi masing-masing.
3. Dilaksanakan untuk mendorong meningkatnya kontribusi setiap individu terhadap organisasi pendidika
4. Dirintis dan diarahkan untuk mendidik dan melatih seseorang sebelum maupun sesudah menduduki jabatan/posisi
5. Dirancang untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan dalam jabatan, pengembangan profesi, pemecahan masalah, kegiatan-kegiatan remedial, pemeliharaan motivasi kerja, dan ketahanan organisasi pendidikan.
6. Pengembangan yang menyangkut jenjang karier sebaiknya disesuaikan dengan kategori masing-masing jenis tenaga kependidikan itu sendiri.
Dengan kata lain bahwa pengembangan SDM Pendidikan
hendaknya didasari prinsip berikut:
1. Pengembangan SDM di lingkungan organisasi/institusi merupakan kebutuhan sesuai dengan dinamika internal dan tuntutan external organisasi.
2. Pengembangan SDM di lingkungan dunia kerja harus dilakukan by design sesuai dengan perencanaan pengembangan organisasi, dan tidak dilakukan hanya semata-mata atas pertimbangan individu (personal interest) pegawai ybs.
1. Pengembangan SDM di lingkungan organisasi/institusi merupakan kebutuhan sesuai dengan dinamika internal dan tuntutan external organisasi.
2. Pengembangan SDM di lingkungan dunia kerja harus dilakukan by design sesuai dengan perencanaan pengembangan organisasi, dan tidak dilakukan hanya semata-mata atas pertimbangan individu (personal interest) pegawai ybs.
C. Prosedur Pengembangan SDM
Pendidikan
Seperti telah dikemukakan pada bagian awal bahan
ajar, pengembangan SDM merupakan upaya membantu pegawai (dalam hal ini tenaga
kependidikan) secara individual menangani tanggung jawabnya di masa kini dan
pengembangannya di masa depan. Pengembangan pegawai banyak dilakukan melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan. Kegiatan ini bertujuan untuk
(1) menghilangkan kesenjangan kinerja pegawai yang disebabkan mereka bekerja tidak sesuai dengan yang diharapkan,
(2) meningkatkan kemampuan angkatan kerja yang lentur dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi baru yang dihadapi organisasi, dan
(3) meningkatkan keterikatan (komitmen) pegawai terhadap organisasi dan membina persepsi bahwa organisasi itu tempat yang baik untuk bekerja. Pelaksanaan pendidikan dan latihan bagi para tenaga kependidikan harus dirancang dengan sebaik-baiknya:
1. Siapa yang akan dilatih dan dikembangkan?
2. Tingkatan pembelajaran apa yang akan dilaksanakan (materi,kurikulum)?
3. Prinsip pembelajaran apa yang diterapkan (metodologi)?
4. Fasilitas dan alat apa yang diperlukan (termasuk sumber belajar)?
5. Siapa yang akan mengajarnya (nara sumber, fasilitator)?
6. Bagaimana menilai keberhasilannya (evaluasi)?
7. Di mana kegiatan itu dilaksanakan?
(1) menghilangkan kesenjangan kinerja pegawai yang disebabkan mereka bekerja tidak sesuai dengan yang diharapkan,
(2) meningkatkan kemampuan angkatan kerja yang lentur dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi baru yang dihadapi organisasi, dan
(3) meningkatkan keterikatan (komitmen) pegawai terhadap organisasi dan membina persepsi bahwa organisasi itu tempat yang baik untuk bekerja. Pelaksanaan pendidikan dan latihan bagi para tenaga kependidikan harus dirancang dengan sebaik-baiknya:
1. Siapa yang akan dilatih dan dikembangkan?
2. Tingkatan pembelajaran apa yang akan dilaksanakan (materi,kurikulum)?
3. Prinsip pembelajaran apa yang diterapkan (metodologi)?
4. Fasilitas dan alat apa yang diperlukan (termasuk sumber belajar)?
5. Siapa yang akan mengajarnya (nara sumber, fasilitator)?
6. Bagaimana menilai keberhasilannya (evaluasi)?
7. Di mana kegiatan itu dilaksanakan?
Disamping itu secara kelembagaan penyelenggaraan
program pelatihan dan pengembangan memerlukan dukungan biaya dan kesungguhan
dalam melaksanakannya. Di bawah ini disajikan model penyelenggaan program
”Training and Development”
Tugas/Latihan 3:
Apakah model tersebut memenuhi kaidah
keterlaksanaan. Dalam hal apa praktek penyelenggaraan pelatihan memiliki
kelemahan? Diskusikan dalam kelompok dengan anggota 5-7 orang.
Model di atas merupakan model umum yang dapat
diterapkan dalam pembinaan dan peningkatan kemampuan professional guru. Model
di atas menjelaskan bahwa kegiatan pelatihan dimulai dari hasil analisis
kebutuhan pelatihan. Analisis kebutuhan adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk
mengetahui secara nyata kekurangan atau kesenjangan kemampuhan yang dirasakan
guru-guru. Hal yang menjadi permasalahan guru dapat dipelajari dari forum
kelompok kerja guru (KKG) atau musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), bahkan
bisa diperoleh dari hasil supervisi para pengawas. Atau dapat pula dilakukan
dengan melakukan kajian kebutuhan pelatihan melalui instrument khusus yang
disiapkan. Masalah-masalah yang dihadapi guru, tentu saja yang berkaitan dengan
tugas profesinya, diklasifikasikan dan ditetapkan prioritasnya.
Langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan
pelatihan yang mengakomodasi kebutuhan pelatihan. Dalam merumuskan tujuan sudah
terantisipasi bahwa pabila tujuan tersebut tercapai, maka permasalahan
kebutuhan guru untuk melayani pembelajaran dapat diperbaiki. Rumusan tujuan
yang jelas akan menggambarkan bahan pelatihan apa yang perlu disusun, sehingga
apabila bahan tersebut dipelajarai dan dapat dikuasai oleh peserta pelatihan,
maka diyakini tujuan pelatihan tercapai. Sejalan dengan penyusunan bahan
pelatihan, perlu dirumuskan alat evaluasi untuk mengukur ketercapaian tujuan
pelatihan. Oleh karena bahan ajar pelatihan disusun dengan mempertimbangkan
tujuan pelatihan, maka dengan sendirinya alat evaluasi yang disusun pun
mengukur penguasaan materi pelatihan oleh peserta pelatihan. Jika dianggap
perlu, alat ini dapat digunakan sebagai pre-test dan post-test.
Kegiatan pelatihan akan efektif apabila peserta
pelatihan melakukan kegiatan dan tugas belajar sesuai dengan bahan dan tujuan
pelatihan. Temuan empirik menunjukkan bahwa proses belajar-mengajar yang
efektif menggunakan metode yang variatif sesuai dengan azas pembelajaran orang
dewasa dengan dukungan bahan ajar yang jelas dan fasilitas yang memadai.
Pelatihan guru yang selama ini dilakukan
menunjukkan masih terdapatnya beberapa kelemahan seperti dilaporkan dalam
berbagai sumber. Pertama, pelatihan seringkali diikuti oleh peserta dalam
jumlah besar sehingga tidak ada peluang untuk melakukan diskusi mendalam,
pemecahan masalah, simulasi dan praktek. Kedua, bahan pelatihan terlalu padat
dalam rentang waktu yang relative singkat. Pelatihan seringkali dimulai pagi
hari sampai larut malam, sehingga kesempatan untuk mengkaji ulang bahan tidak tersedia.
Ketiga, pelatih kurang memiliki pengalaman yang sesuai dengan kebutuhan peserta
pelatihan. Keempat, fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan hasil
pelatihan tidak tersedia dan guru-guru kurang mendapat bantuan professional
pada saat melaksanakan hasil-hasil pelatihan. Pelatihan guru dalam bentuk
in-hause training mulai banyak dilaksanakan, karena dapat mengatasi
kekurangan-kekurangan yang selama ini terjadi dalam pelaksanaan pelatihan.
Pembinaan dan pengembangan pegawai dapat
dilakukan secara menyatu dengan manajemen sekolah secara integral. Manajemen Sumber Daya Manusia dalam organisasi
pada hakekatnya mempersoalkan upaya untuk pemberdayaan seluruh potensi
organisasi dalam rangka mencapai produktivitas yang setinggi-tingginya. Dalam
konsep tersebut termasuk upaya efisiensi dan efektivitas. Efisiensi menyangkut
pemanfaatan input sebaik-baiknya untuk melayani operasi proses secara
proporsional. Efektivitas menyangkut ketercapaian sasaran atau target-target
yang ditetapkan. Besaran perbandingan antara input dan output menggambarkan
index produktivitas.
Adalah sangat rasional apabila para pimpinan atau
manajer pada tingkat apapun memiliki pemikiran untuk meningkatkan efisiensi
setinggi-tingginya untuk menghasilkan output yang sebesar-besarnya. Akan tetapi
perlu diwaspadai jangan sampai terjadi upaya peningkatan efisiensi menjadi
penyebab bagi rendahnya mutu dan menurunnya jumlah produk.
1.
Konsep
Pemberdayaan
Pemberdayaan dalam konteks sumber daya manusia
dimaksudkan upaya yang dilakukan (terutama oleh pimpinan) untuk meningkatkan
daya dukung pegawai terhadap organisasi, melalui peningkatan kemampuan, kinerja
serta komitmen.
2. Manfaat
Pemberdayaan.
Pemberdayaan seperti pengertian yang dimaksudkan
di atas sangat penting dilakukan dalam organisasi apapun. Pembangunan dan
kemajuan yang dicapai oleh organisasi pada dasarnya bersifat akumulatif dan
berkelanjutan. Ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang telah dicapai
sebelumnya merupakan modal lanjutan bagi pengembangan lanjut. Dengan kata lain,
apabila terjadi upaya pemberdayaan dalam berbagai bentuk potensi organisasi,
maka akan terjadi penghematan. Di samping itu, kondisi tersebut dapat
mempercepat proses pengembangan organisasi, yang disebabkan oleh terjadinya
akumulasi potensi yang dimilki organisasi. Pemberdayaan potensi SDM memiliki
“opportunity cost” dan “opportunity ussage”. Hal ini dimungkinkan karena
sumberdaya yang telah ada memiliki durasi pelayanan yang lama dan manfaat yang
besar, sedangkan biaya pengadaan pegawai baru dapat digunakan untuk pengembangan
program lain, di samping meneruskan program-program pengembangan yang telah
ada.
3. Hakekat
dan Asumsi Pemberdayaan
Pemberdayaan potensi SDM, demikian pula potensi
lainnya, merupakan tuntutan mutlak apabila organisasi ingin menampilkan kinerja
yang sehat. Organisasi yang sehat adalah organisasi yang memiliki kemampuan
untuk memahami kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimilikinya,
serta mampu melihat tantangan dan memperhitungkan peluang yang ada. Kemampuan
ini akan melahirkan potret posisi organisasi. Dalam kondisi tersebut,
organisasi akan mampu mengembangkan visinya, merumuskan program-program
stratejik, mengembangkan cara-cara yang tepat untuk melaksanakannya disertai
pengendalian yang berfungsi diagnostik dan evaluatif. Oleh karena itu
pemberdayaan SDM merupakan bagian dari budaya manajemen stratejik. Pemberdayaan
SDM dapat meningkatkan kinerja organisasi, kesehatan organisasi, efisiensi, dan
percepatan pengembangan organisasi.
4. Bentuk-bentuk
Pemberdayaan SDM
Pertama, membudayakan praktek manajemen
stratejik. Analisis lingkungan internal organisasi (kekuatan dan kelemahan) dan
analisis lingkungan external (tantangan dan peluang) yang dilakukan dengan
benar memungkinkan diketahuinya posisi lembaga pada saat ini. Dengan cara
demikian dengan sendirinya dapat diketahui kondisi-kondisi SDM saat ini
dihubungkan dengan dukungannya terhadap program-program yang akan dikembangkan
di masa depan.
Kedua, menyusun program-program berdasarkan hasil
“need assessment”, di mana dapat diketahui kegiatan-kegiatan mana yang perlu
ditetapkan untuk meningkatkan kinerja lembaga. Dengan cara seperti ini
kebutuhan sumber pendukung seperti biaya, alat/fasilitas, dan teknologi dapat
diidentifikasi dan disusun lebih teliti. Tata kerja seperti itu pada dasarnya mensejalankan
antara “programming” dan “resourcing”.
Ketiga, Merumuskan spesifikasi pelayanan yang
ada, dan menterjemahkannya kepada tuntutan SDM. Cara seperti ini memungkinkan
dilakukannya “human resource sharing” di antara unit-unit kerja yang ada. Dalam
pelaksanaannya diperlukan koordinasi dan kerjasama. Kesamaan visi di antara
pimpinan unit-unit kerja sangat diperlukan untuk menghindari adanya kultus
kepentingan. Organisasi sebagai sistem terdiri dari berbagai komponen/bagian
yang saling berkaitan. Siatem hanya akan berfungsi secara efektif apabila di
antara masing-masing unsur dapat saling membangun sinerjik yang harmonis,
termasuk dalam resource sharing.”
Keempat, Meningkatkan tingkat kepuasan pegawai.
Cara seperti ini diwujudkan melalui penciptaan budaya kerja yang melahirkan
sistem pengawasan suportif, evaluasi kinerja yang obyektif bagi pengembangan
karir dan renumerasi, penciptaan mutu lingkungan kerja yang kondusif, sistem
“reward and funishment” yang diterapkan secara konsisten, dan kegiaqtan swejenisnya.
Kelima, melakukan audit kinerja. Audit kinerja
dapat dilakukan oleh pimpinan masing-masing unit kerja. Audit dapat dilakukan
pada kinerja individual, kelompok yang mengerjakan satuan tugas, dan unit kerja
secara utuh. Hal ini dapat dilakukan apabila deskripsi tugas dan target-target
pencapaiannya dirumuskan dengan jelas.
Keenam, mempraktekan gugus kendali mutu untuk
meningkatkan tanggung jawab bersama dan rasa memiliki di antara anggota
organisasi. Praktek ini dimungkinkan apabila gagasan pengendalian mutu
menyeluruh difahami, di mana pegawai telah terbiasa mengidentifikasi masalah
yang dihadapinya dan terlibat dalam memecahkan persoalan tersebut.
Kegiatan yang banyak dilakukan untuk
memberdayakan pegawai adalah melalui pendidikan dan pelatihan (pelatihan dan
pengembangan) yang kan dibahas dalam bagian khusus di bawah ini.
Latihan/Tugas 3:
|
Diskusikan dalam kelompok dengan anggota 5-7 orang
1. agaimana
pendapat Anda terhadap pernyataan di atas. Jika setuju kemukakan argumentasi
Anda, sebaliknya apabila tidak setuju kemukakan pula argumentasi Anda.
2. Kegiatan
pemberdayaan mana yang tepat dilakukan untuk mengatasi kondisi tersebut.
D. Model Pengembangan Guru
Banyak cara yang dilakukan oleh guru untuk
menyesuaikan dengan perubahan, baik itu secara perorangan, kelompok, atau dalam
satu sistem yang diatur oleh lembaga. Mulyasa (2003:43) menyebutkan bahwa
pengembangan guru dapat dilakukan dengan cara on the job training dan in
service training. Sementara Castetter menyampaikan lima model pengembangan
untuk guru seperti pada tabel berikut:
Tabel 1
Model Pengembangan Guru
Model Pengembangan Guru
|
Keterangan
|
Individual
Guided Staff Development
(Pengembangan
Guru yang Dipadu secara Individual)
|
Para guru
dapat menilai kebutuhan belajar mereka dan mampu belajar aktif serta
mengarahkan diri sendiri. Para guru harus dimotivasi saat menyeleksi tujuan
belajar berdasar penilaian personil dari kebutuhan mereka.
|
Observation/Assessment
(Observasi
atau Penilaian)
|
Observasi dan
penilaian dari instruksi menyediakan guru dengan data yang dapat
direfleksikan dan dianalisis untuk tujuan peningkatan belajar siswa. Refleksi
oleh guru pada prakteknya dapat ditingkatkan oleh observasi lainnya.
|
Involvement
in a development/ Improvement Process
(keterlibatan
dalam Suatu Proses Pengembangan/Peningkatan)
|
Pembelajaran
orang dewasa lebih efektif ketika mereka perlu untuk mengetahui atau perlu
memecahkan suatu masalah. Guru perlu untuk memperoleh pengetahuan atau
keterampilan melalui keterlibatan pada proses peningkatan sekolah atau
pengembangan kurikulum.
|
Training (Pelatihan)
|
Ada teknik-teknik
dan perilaku-perilaku yang pantas untuk ditiru guru dalam kelas. Guru-guru
dapat merubah perilaku mereka dan belajar meniru perilaku dalam kelas mereka.
|
Inquiry (Pemeriksaan)
|
Pengembangan
profesional adalah studi kerjasama oleh para guru sendiri untuk permasalahan
dan isu yang timbul dari usaha untuk membuat praktek mereka konsisten dengan
nilai-nilai bidang pendidikan.
|
Dari kelima model pengembangan guru di atas, model ”training” merupakan model pengembangan yang banyak dilakukan oleh lembaga pendidikan swasta. Pada lembaga pendidikan, cara yang populer untuk pengembangan kemampuan profesional guru adalah dengan melakukan penataran (in service training) baik dalam rangka penyegaran (refreshing) maupun peningkatan kemampuan (up-grading). Cara lain baik dilakukan sendiri-sendiri (informal) atau bersama-sama, seperti: on the job training, workshop, seminar, diskusi panel, rapat-rapat, simposium, konferensi, dsb.
Inovasi dalam pendidikan juga berdampak pada
pengembangan guru. Beberapa model pengembangan guru sengaja dirancang untuk
menghadapi pembaharuan pendidikan. Candall mengemukakan model-model efektif
pengembangan kemampuan profesional guru, yaitu: model mentoring, model ilmu
terapan atau model ”dari teori ke praktek”, dan model inquiry atau model
reflektif. Model mentoring adalah model dimana berpengalaman merilis
pengetahuannya atau melakukan aktivitas mentor pada guru yang kurang
berpengalaman. Model ilmu terapan berupa perpaduan antara hasil-hasil riset
yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan praktis. Model inquiry yaitu pendekatan
yang berbasis pada guru-guru, para guru harus aktif menjadi peneliti, seperti
membaca, bertukar pendapat, melakukan observasi, melakukan analisis kritis, dan
merefleksikan pengalaman praktis mereka sekaligus meningkatkannya.
Sedangkan menurut Soetjipto dan Kosasi (2004:54), pengembangan sikap profesional ini dapat dilakukan selama dalam pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas (dalam jabatan).
1.
Pengembangan
profesional selama pendidikan prajabatan.
Dalam pendidikan prajabatan, calon guru didik
dalam berbagai pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diperlukan dalam
pekerjaannya nanti. Karena tugasnya yang bersifat unik, guru selalu jadi
panutan bagi siswanya, dan bahkan bagi masyarakat sekelilingnya. Oleh sebab
itu, bagaimana guru bersikap terhadap pekerjaan dan jabatannya selalu menjadi
perhatian siswa dan masyarakat.
Pembentukan sikap yang baik tidak mungkin muncul
begitu saja, tetapi harus dibina sejak calon guru memulai pendidikannya di
lembaga pendidikan guru. Berbagai usaha dan latihan, contoh-contoh dan aplikasi
penerapan ilmu, keterampilan dan bahkan sikap profesional dirancang dan
dilaksanakan selama calon guru berada dalam pendidikan prajabatan. Sering juga
pembentukan sikap tertentu terjadi sebagai hasil sampingan (by product) dari pengetahuan yang
diperoleh calon guru. Sikap teliti dan disiplin, misalnya dapat terbentuk
sebagai hasil sampingan dari hasil belajar matematika yang benar, karena
belajar matematika selalu menuntut ketelitian dan kedisiplinan penggunaan
aturan dan prosedur yang telah ditentukan. Sementara itu tentu saja pembentukan
sikap dapat diberikan dengan memberikan pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan
khusus yang direncanakan, sebagaimana halnya mempelajari Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diberikan kepada seluruh siswa sejak dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
2.
Pengembangan
profesional selama dalam jabatan
Pengembangan sikap profesional tidak terhenti
apabila calon guru selesai mendapatkan pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang
dapat dilakukan dalam rangka peningkatan sikap profesional keguruan dalam masa
pengabdiannya sebagai guru. Seperti telah disebut, peningkatan ini dapat
dilakukan dengan cara formal melalui kegiatan mengikuti penataran, lokakarya,
seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya, ataupun secara informal melalui media
massa televisi, radio, koran, dan majalah maupun publikasi lainnya. Kegiatan
ini selain dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sekaligus dapat
juga meningkatkan sikap profesional keguruan. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional (2005) menyebutkan beberapa alternatif Program
Pengembangan Profesionalisme Guru, sebagai berikut:
a.
Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan
Guru
Sesuai dengan peraturan yang berlaku bahwa
kualifikasi pendidikan guru adalah minimal S1 dari program keguruan, maka masih
ada guru-guru yang belum memenuhi ketentuan tersebut. Oleh karenanya program
ini diperuntukkan bagi guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal
S1 untuk mengikuti pendidikan S1 atau S2 pendidikan keguruan. Program ini
berupa program kelanjutan studi dalam bentuk tugas belajar.
b. Program Penyetaraan dan Sertifikasi
Program ini diperuntukkan bagi guru yang mengajar
tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya atau bukan berasal dari
program pendidikan keguruan. Keadaan ini terjadi karena sekolah mengalami
keterbatasan atau kelebihan guru mata pelajaran tertentu. Sering terjadi
kualifikasi pendidikan mereka lebih tinggi dari kualifikasi yang dituntut namun
tidak sesuai, misalnya berijazah S1 tetapi bukan kependidikan. Mereka bisa
mengikuti program penyetaraan atau sertifikasi.
c.
Program Pelatihan Terintegrasi Berbasis
Kompetensi
Guru yang memenuhi kualifikasi pendidikan saja
belum cukup, diperlukan pelatihan guna meningkatkan profesionalismenya. Program
pelatihan yang diusulkan adalah pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan guru,
yaitu mengacu kepada tuntutan kompetensi. Selama ini pelaksanaan pelatihan
bersifat parsial dan pengembangan materi seringkali tumpang tindih,
menghabiskan banyak waktu tenaga dan biaya dan kurang efisien. Tidak jarang
dalam satu tahun seorang guru mengikuti tiga jenis pelatihan sehingga
mengganggu kegiatan PBM, sebaliknya tidak sedikit guru yang pernah mengikuti
pelatihan sekalipun dalam satu tahun.
Oleh karenanya pelatihan yang diusulkan adalah
Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi (PTBK) yaitu pelatihan yang mengacu
pada kompetensi yang akan dicapai dan diperlukan oleh peserta didik, sehingga
isi/materi pelatihan yang akan dilatihkan merupakan gabungan/integrasi
bidang-bidang ilmu sumber bahan pelatihan yang secara utuh diperlukan untuk
mencapai kompetensi (Depdiknas, 2002: 4). Kompetensi yang diharapkan oleh guru
mencakup:
1) Memiliki pemahaman landasan dan wawasan
pendidikan, terutama yang terkait dengan bidang tugasnya.
2) Menguasai materi pelajaran, minimal
sesuai dengan cakupan materi yang tercantum dalam profil kompetensi.
3)
Menguasai pengelolaan pembelajaran
sesuai karakteristik materi pelajaran.
4)
Menguasai evaluasi hasil belajar dan
pembelajaran sesuai dengan karakteristik mata pelajaran.
5)
Memiliki wawasan profesi serta
kepribadian sebagai guru.
d.
Program Supervisi Pendidikan
Dalam praktek pembelajaran di kelas masih sering
ditemui guru-guru yang ditingkatkan profesionalismenya dalam proses belajar
mengajarnya. Sering ada persepsi yang salah atau kurang tepat di mana tugas
supervisor sering dimaknai sebagi tugas untuk mencari kesalahan atau untuk
mengadili guru, padahal tujuannya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
proses belajar mengajar. Ciri utama supervisi adalah perubahan dalam ke arah
yang lebih baik, positif proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien.
Dilingkungan sekolah, supervisi mempunyai peranan
cukup strategis dalam meningkatkan prestasi kerja guru, yang pada gilirannya
akan meningkatkan prestasi sekolah. Dengan demikian kualitas peranan supervisi
di lingkungan sekolah akan dapat meningkatkan profesionalisme guru yang
selanjutnya dapat berdampak positif terhadap prestasi sekolah.
e.
Program Pemberdayaan MGMP (Musyawarah
Guru Mata Pelajaran)
MGMP adalah suatu forum atau wadah kegiatan
profesional guru mata pelajaran sejenis di sanggar maupun di masing-masing
sekolah yang terdiri dari dua unsur yaitu musyawarah dan guru mata pelajaran.
Guru mata pelajaran adalah guru SMP dan SMA Negeri atau Swasta yang mengasuh
dan bertanggung jawab dalam mengelola mata pelajaran yang ditetapkan dalam
kurikulum.
Guru bertugas mengimplementasikan kurikulum di
kelas. Dalam hal ini dituntut kerjasama yang optimal di antara para guru.
Dengan MGMP diharapkan akan meningkatkan profesionalisme guru dalam
melaksanakan pembelajaran yang bermutu sesuai kebutuhan peserta didik. Wadah
profesi ini sangat diperlukan dalam memberikan kontribusi pada peningkatan
keprofesionalan para anggotanya.
f.
Simposium Guru
Selain MGMP ada forum lain yang dapat digunakan
sebagai wadah untuk saling berbagi pengalaman dalam pemecahan masalah yang
terjadi dalam proses pembelajaran yaitu simposium. Melalui forum simposium guru
ini diharapkan para guru menyebarluaskan upaya-upaya kreatif dalam pemecahan
masalah. Forum ini selain sebagai media untuk sharing pengalaman juga berfungsi untuk kompetisi antar guru,
dengan menampilkan guru-guru yang berprestasi dalam berbagai bidang, misalnya
dalam penggunaan metode pembelajaran, hasil penelitian tindakan kelas atau
penulisan karya ilmiah.
g.
Program pelatihan tradisional lainnya
Berbagai program pelatihan sampai saat ini banyak
dilakukan. Bentuk-bentuk pelatihan ini sudah lama ada dan diakui cukup
bernilai. Walaupun disadari bahwa seringkali berbagai bentuk kursus/pelatihan
tradisional ini seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhan praktis dari
pekerjaan guru. Oleh karena itu, suatu kombinasi antara materi akademis dengan
pengalaman lapangan akan sangat efektif untuk pengembangan kursus/pelatihan
tradisional ini. Pelatihan ini pada umumnya mengacu pada satu aspek khusus yang
sifatnya aktual dan penting untuk diketahui oleh para guru, misalnya: CTL,
KTSP, Penelitian Tindakan Kelas, Penulisan Karya Ilmiah, dan sebagainya.
h.
Membaca dan menulis jurnal atau karya
ilmiah
Sebagaimana diketahui bahwa jurnal atau bentuk
makalah ilmiah lainnya secara berkesinambungan diproduksi oleh individual
pengarang, lembaga pendidikan maupun lembaga-lembaga lain. Jurnal atau bentuk
karya ilmiah lainnya tersebut tersebar dan dapat ditemui diberbagai pusat
sumber belajar (perpustakaan, internet, dan sebagainya). Walaupun artikel dalam
jurnal cenderung singkat, tetapi dapat mengarahkan pembacanya kepada konsep-konsep
baru dan pandangan untuk menuju kepada perencanaan dan penelitian baru. Ia juga
memiliki kolom berita yang berkaitan dengan pertemuan, pameran, seminar,
program pendidikan, dan sebagainya yang mungkin menarik bagi guru.
Dengan membaca dan memahami isi jurnal atau
makalah ilmiah lainnya dalam bidang pendidikan guru dapat mengembangkan
profesionalismenya. Selanjutnya dengan meningkatnya pengetahuan seiring dengan
bertambahnya pengalaman, guru diharapkan dapat membangun konsep baru,
keterampilan khusus dan alat/media belajar yang dapat memberikan kontribusi
dalam melaksanakan tugasnya.
i.
Berpartisipasi dalam Pertemuan Ilmiah
Kegiatan ini dapat dilakukan oleh masing-masing
guru secara mandiri. Yang diperlukan adalah bagaimana memotivasi dirinya
sendiri untuk berpartisipasi dalam berbagai pertemuan ilmiah. Konferensi atau
pertemuan ilmiah memberikan makna penting untuk menjaga kemutakhiran hal-hal
yang berkaitan dengan profesi guru. Tujuan utama kebanyakan konferensi atau
pertemuan ilmiah adalah menyajikan berbagai informasi dan inovasi terbaru di
dalam suatu bidang tertentu.
Partisipasi guru minimal pada kegiatan konferensi
atau pertemuan ilmiah setiap tahun akan memberikan kontribusi yang berharga
dalam membangun profesionalisme guru dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
Penyampaian makalah utama, kegiatan diskusi kelompok kecil, pameran ilmiah,
pertemuan informal untuk bertukar pikiran atau ide-ide baru, dan sebagainya
saling berintegrasi untuk memberikan kesempatan pada guru untuk tumbuh sebagai
seorang profesional.
j.
Melakukan penelitian (khususnya
Penelitian Tindakan Kelas)
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang merupakan
studi sistematik yang dilakukan guru melalui kerjasama atau tidak dengan ahli
pendidikan dalam rangka merefleksikan dan sekaligus meningkatkan praktik
pembelajaran secara terus menerus juga merupakan startegi yang tepat untuk
meningkatkan profesionalisme guru. Berbagai kajian yang bersifat reflektif oleh
guru yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional, memperdalam
pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya, dan
memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran berlangsung akan bermanfaat
sebagai inovasi pendidikan.
k.
Magang
Magang ini dilakukan bagi para guru pemula.
Bentuk pelatihan pre-service atau in-service bagi guru junior untuk
secara gradual menjadi guru profesional melalui proses magang di kelas tertentu
dengan bimbingan guru bidang studi tertentu. Berbeda dengan pendekatan
pelatihan yang konvensional, fokus pelatihan magang ini adalah kombinasi antara
materi akademis dengan suatu pengalaman lapangan di bawah supervisi guru yang
senior dan berpengalaman (guru yang lebih profesional).
l.
Mengikuti berita aktual dari media
pemberitaan
Pemilihan yang hati-hati program radio dan
televisi, dan sering membaca surat kabar juga akan meningkatkan pengetahuan
guru mengenai pengembangan mutakhir dari proses pendidikan. Berbagai bentuk
media tersebut seringkali memuat artikel-artikel maupun program-program yang
berkaitan dengan berbagai isu atau penemuan terkini mengenai pendidikan yang
disampaikan dan dibahaas secara mendalam oleh para ahli pendidikan. Oleh karena
itu, penggunaan media pemberitaan secara selektif yang terkait dengan bidang
yang ditekuni guru akan dapat membantu proses peningkatan profesionalisme guru.
m.
Berpartisipasi dan Aktif dalam
Organisasi Profesi
Ikut serta menjadi anggota organisasi/komunitas
profesional juga akan meningkatkan profesionalisme seorang guru.
Organisasi/komunitas profesional biasanya akan melayani anggotanya untuk selalu
mengembangkan dan memelihara profesionalismenya dengan membangun hubungan yang
errat dengan masyarakat (swasta, industri, dan sebagainya). Dalam hal ini yang
terpenting adalah guru harus pandai memilih suatu bentuk organisasi profesional
yang dapat memberi manfaat utuh bagi dirinya melalui bentuk investasi waktu dan
tenaga.
n.
Menggalang Kerjasama dengan Teman
Sejawat
Kerjasama dengan teman seprofesi sangat
menguntungkan bagi pengembangan profesionalisme guru. Banyak hal dapat
dipecahkan dan dilakukan berkat kerjasama, seperti: penelitian tindakan kelas,
berpartisipasi dalam kegiatan ilmiah, dan kegiatan-kegiatan profesional
lainnya.
Pertemuan secara formal maupun informal untuk
mendiskusikan berbagai isu atau permasalahan pendidikan termasuk kerjasama
dalam berbagai kegiatan lain (misalnya merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi program-program sekolah) dengan kepala sekolah, orang tua peserta
didik (komite sekolah), guru dan staf lain yang profesional dapat membantu guru
dalam memutakhirkan pengetahuannya. Berpartisipasi dalam berbagai kegiatan
tersebut dapat menjaga keaktifan pikiran dan membuka wawasan yang memungkinkan
guru untuk terus mendapatkannya. Semakin guru terlibat dalam perolehan
informasi, maka guru semakin merasa akuntabel, dan semakin guru merasakan
akuntabel maka ia semakin termotivasi untuk mengembangkan dirinya. Disamping
itu mengunjungi profesional lainnya di luar sekolah merupakan metode yang
sangat berharga untuk memeproleh informasi terkini dalam rangka proses
pengembangan profesional guru.
E. Tantangan Profesionalisasi
Guru
Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan
beratnya tantangan yang dihadapi oleh profesi keguruan dalam usaha untuk
meningkatkan kewibawaannya di mata masyarakat seperti yang dikemukan oleh Dedi
Supriadi, (1999:104-106) sebagai berikut:
Pertama, berkenaan dengan definisi profesi keguruan, masih ada kekurangjelasan tentang definisi profesi keguruan, bidang garapannya yang khas, dan tingkat keahlian yang dituntut dari pemegang profesi ini. Profesi keguruan berbeda misalnya dengan profesi kedokteran yang bidang tugas dan tingkat keahlian yang dituntutnya oleh profesi telah begitu jelas serta dirinci sedemikian rupa.
Kedua, kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah profesi keguruan menunjukkan bahwa desakan kebutuhan masyarakat dan sekolah akan guru, maka profesi ini tidak cukup terlindungi dari terjadinya ”gangguan” dari luar. Di masa lalu bahkan hingga dewasa ini, ada kesan bahwa siapapun boleh berdiri di muka kelas untuk mengajar tanpa mempedulikan latar belakang dan tingkat pendidikannya. Di zaman kemerdekaan, asal seseorang bisa menulis, membaca, dan berhitung dan mau membagikan kemauannya kepada orang lain, dapat langsung berdiri di muka kelas.
Sekalipun hal tersebut sekarang sudah banyak
berkurang, pengaruh dari masa lalu itu masih terasa hingga sekarang. Di samping
itu, kualifikasi pendidikan guru kita amat beragam, mulai hanya lulusan SLTP
hingga S-3. Dapat dibayangkan betapa sulitnya menarik suatu generalisasi utuh
tentang tingkat profesionalisme guru. Sekali lagi, bandingkan misalnya dengan
profesi kedokteran yang anggotanya hanya terdiri atas dokter dengan kualifikasi
pendidikan yang jelas dan seragam.
Ketiga, penambahan jumlah guru secara besar-besaran membuat sulitnya standar mutu guru dikendalikan dan dijaga. Hal ini terjadi hampir pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Akibatnya, ada anggapan seakan-akan tidak ada relevansinya untuk berbicara tentang profesionalisme guru di tengah mendesaknya kebutuhan akan guru dalam jumlah besar.
Keempat, PGRI sendiri cenderung bergerak di ”pertengahan” antara pemerintah dan guru-guru. PGRI belum banyak aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang secara sistematis dan langsung berkaitan dengan peningkatan proefsionalisme guru; misalnya melalui penerbitan profesional dan kegiatan ilmiah lainnya. Kurangnya dana, langkanya tenaga profesional dan potensi ”pasar” untuk mengkonsumsi penerbitan profesional, menjadi sebab sulitnya PGRI bergerak ke arah itu.
Hal serupa juga berlaku dalam upaya
memperjuangkan nasib para guru. Diakui bahwa pada beberapa tahun terakhir PGRI
makin aktif menyuarakan aspirasi guru, namun secara umum tidak berlebihan bila
dikatakan bahwa PGRI masih harus berbuat banyak untuk menjadi penyalur dan
penyambung lidah para guru dalam menyampaikan aspirasinya untuk perbaikan
statusnya.
Baik sebagai wahana untuk meningkatkan
profesionalisme maupun untuk memperjuangkan nasib guru, PGRI memang masih
sebelum ”secanggih” organisasi serupa di negara lain. Misalnya, NEA (National Educational Association) di AS
benar-benar aktif melakukan pembinaan terhadap profesionalisme guru; sedangkan
AFT (American Federation of Teacher)
lebih berurusan dengan upaya memperjuangkan hak-hak guru. Guru-guru yang kurang
puas dengan kondisi kerja banyak bergabung dengan AFT. Di Inggris, NUT (National Teachers Union) merupakan
kekuatan yang ampuh baik sebagai sarana untuk pembinaan profesionalisme guru
maupun dalam mempengaruhi opini publik tentang pendidikan dan guru.
Kelima, tuntutan dan harapan masyarakat yang terus meningkat dan berubah membuat guru makin ditantang. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat melahirkan tuntutan-tuntutan baru terhadap peran (role expectation) yang seharusnya dimainkan oleh guru. Akibatnya, setiap penambahan kemampuan guru selalu berpacu dengan meningkatnya kemampuan dan harapan masyarakat tersebut yang kadang-kadang lebih cepat dari kemampuan guru untuk memenuhinya. Masalah terjadi apabila harapan atas peran guru bertambah, sementara kemampuan guru memenuhinya terbatas.
Bila dimasa lalu guru menjadi sumber utama untuk
menjawab ketidaktahuan siswa, sekarang bukan lagi. Di rumah tersedia radio,
televisi, surat kabar, bahkan komputer dan internet. Tidak berlebihan bila
dikatakan bahwa – dengan pengecualian di pedesaan barisan depan dalam irama
perubahan masyarakat sebagaimana dipercayai di masa lalu, melainkan pengikut
perubahan masyarakat yang bergerak jauh di depan mereka. Dalam situasi
demikian, tidak mudah menegakkan profesi keguruan.
Jadi, betapa peliknya problematik dan betapa
beratnya tantangan yang dihadapi profesi keguruan.
F. Implementasi Program Pengembangan Profesi Guru
Betapa bagusnyapun rumusan visi dan misi, serta
lengkapnyapun rumusan kandungan isi dengan pengelaborasiannya yang rinci dari
suatu program pendidikan (dalam arti penyiapan dan pengembangan) keprofesian
keguruan, pada akhir dan ujungnya akan tergantung kepada bagaimana kinerja cara
mengimplementasikannya dalam proses dan situasi pendidikannya yang aktual.
Hal tersebut mengimplikasikan bahwa implementasi suatu program pengembangan profesi dan perilaku guru itu bukanlah merupakan sesuatu hal yang mudah, melainkan memerlukan penanganan yang khusus dan sungguh-sungguh.Pengembangan profesi keguruan bukan saja hanya memerlukan dukungan program pengembangan yang bersifat luwes yang dapat memberikan peluang setiap pengemban profesi guru itu menempuhnya secara luwes melalui prosedur yang bersifat multi-entry dan/atau lintas jalur jenis kategori bidang keahlian, juga paket-paket programnya seyogianya dikembangkan secara luwes pula sehingga memberikan peluang kemudahan prosedural dan juga memberikan dorongan yang menggairahkan kepada guru untuk melakukan upaya pengembangan keprofesiannya secara berkelanjutan dengan cara yang bervariasi.
Hal tersebut mengimplikasikan bahwa implementasi suatu program pengembangan profesi dan perilaku guru itu bukanlah merupakan sesuatu hal yang mudah, melainkan memerlukan penanganan yang khusus dan sungguh-sungguh.Pengembangan profesi keguruan bukan saja hanya memerlukan dukungan program pengembangan yang bersifat luwes yang dapat memberikan peluang setiap pengemban profesi guru itu menempuhnya secara luwes melalui prosedur yang bersifat multi-entry dan/atau lintas jalur jenis kategori bidang keahlian, juga paket-paket programnya seyogianya dikembangkan secara luwes pula sehingga memberikan peluang kemudahan prosedural dan juga memberikan dorongan yang menggairahkan kepada guru untuk melakukan upaya pengembangan keprofesiannya secara berkelanjutan dengan cara yang bervariasi.
Abin S. Makmum (1996) menguraikan tugas,
peranan,dan tanggung jawab LPTK, pengguna jasa guru, organisasi asosiasi
profesi guru, serta guru dalam upaya mengembangkan profesi guru sebagai
berikut:
1.
Tugas,
Peranan dan Tanggung Jawab LPTK dan Lembaga Lain yang Relevan
LPTK merupakan akronim dari Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan sebagai generik dari semua lembaga atau satuan pendidikan
yang bidang garapan kegiatannya bertalian dengan upaya pengadaan atau penyiapan
dan/atau pengembangan tenaga kependidikan. Penggunaannya secara resmi di
lingkungan Depdiknas, khususnya Ditjen Dikti, dimulai dengan terbitnya dokumen
PPSPTK (1978). Sedangkan dokumen formal lebih lanjut (PP No. 38 tahun 1992)
untuk maksud yang serupa menggunakan ungkapan Lembaga Pendidikan Tenaga
Keguruan, tanpa akronim. Yang terakhir itu dipandang serupa dengan terdahulu
berdasarkan asumsi bahwa perkataan GURU dalam versi UNESCO/ILO mencakup semua
personel yang terlibat dalam tugas pekerjaan kependidikan (Dokumen resmi
Internasional Hasil Konferensi Antar Pemerintah, termasuk Indonesia terwakili
di dalamnya, yang diselenggarakan oleh UNESCO/ILO tanggal 21 September s.d. 5
oktober 1966 di Paris).
Bentuk kelembagaan dari LPTK memang cukup
bervariasi sesuai dengan diversifikasi (jenis kategori bidang
keahlian/pekerjaan) dan stratifikasi (tingkat dan/atau jenjang kualifikasi
keahlian/kemampuan) tenaga guru yang harus disiapkan atau dibina dan
dikembangkan baik persekolahan maupun lembaga lain. Selain bentuk kelembagaan
LPTK yang bersifat persekolahan (IKIP yang sekarang berubah menjadi universitas
dengan wider mandate-nya, STKIP, dan
FKIP), sesungguhnya masih terdapat berbagai format lainnya yang titik berat
garapannya pada segi pengembangan (keprofesian) guru. Di antaranya, terdapat
BPG – Balai Pendidikan Guru (sekarang berganti fungsi menjadi LPMP) yang
selanjutnya diasosiasikan dengan gagasan PPPG-Pusat Pengembangan Pendidikan
Guru (sekarang berganti fungsi menjadi P4TK) dengan bidang garapannya yang
secara spesifik difokuskan kepada pengembangan kemampuan guru-guru bidang
studi, sebagai program sertifikasi.
Berdasarkan asumsi bahwa proses penyiapan (pre-service) dan pengembangan (in-service) tenaga guru dengan segala
kategorinya seyogianya digariskan sebagi suatu kesatuan yang integral. Seperti
direkomendasikan oleh Konferensi Pendidikan Internasonal yang diselenggarakan
di Jenewa mulai 27 Agustus s.d. 4 Sepetember 1974 oleh UNESCO (Goble, 1977:
206).
Pendidikan lanjutan hendaknya merupakan bagian integral dari proses pendidikan guru sehingga perlu ditata secara teratur bagi semua kategori tenaga kependidikan. Prosedur hendaknya seluwes mungkin dan dapat disesuaikan terhadap kebutuhan guru individual maupun terhadap ciri-ciri khas setiap daerah, dengan memperhitungkan perkembangan kekhususan yang berbeda dan perluasan perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara konseptual, kedua tahapan proses
pendidikan guru tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari tugas dan tanggung
jawab LPTK. Dengan demikian, LPTK itu seyogianya mampu menjalankan peranannya
baik dalam pelaksanaan fungsi pendidikan prajabatan maupun fungsi pendidikan
dalam jabatan. Sebagaimana halnya direkomendasikan pula oleh UNESCO (Goble,
1977:206).
Fungsi lembaga pendidikan guru hendaknya tidak
saja diperluas untuk memberikan pendidikan prajabatan kepada para guru,
melainkan juga memberikan banyak sumbangan bagi pendidikan lanjutan mereka;
dengan demikian, lembaga-lembaga tersebut hendaknya memberikan pendidikan
prajabatan dan pendidikan lanjutan.
Di Indonesia, sesungguhnya gagasan UNESCO itu
telah dicoba untuk diimplementasikan dalam rangka pengembangan pola pembaharuan
sistem pendidikan tenaga kependidikan. Pengadaan (penyiapan) tenaga
kependidikan yang termasuk kategori tenaga guru TK, SD, SL, dan juga sebagian
PLS pada dasarnya merupakan tugas dan tanggungjawab LPTK. Terdapat kemungkinan
juga pendidikan prajabatan saat itu dikonsepsikan dapat ditempuh melalui
pendidikan dalam jabatan, dengan asumsi bahwa hingga saat itu masih terdapat
sejumlah guru yang telah bertugas. Sedangkan aturan lain menunjukkan bahwa pada
dasarnya semua jenis kategori tenaga kependidikan dari semua jenang dan/atau
tingkat kelembagaan satuan dan program pendidikan dapat menempuh program
pendidikan lanjutan baik di LPMP maupun di LPTK. Dengan catatan bahwa kepada
jenis dan jenjang satuan pendidikan TK itu termasuk Raudhatul Atfhal, kepada SD
itu mencakup Pondok Pesantren dan kepada PT mencakup IAIN dan sejenisnya, baik
yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun oleh swasta (LSM).
Khusus bagi LPTK, dalam kedudukannya sebagi
lembaga pendidikan tinggi (telaah PP NO. 38 pasal 11-16 serta pasal 32) secara
jelas selain mengemban tugas dharma pendidikan (menyiapkan dan mengembangkan
tenaga kependidikan profesional) itu juga harus mengemban dharma penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat sebagaimana yang berlaku bagi lembaga pendidikan
lainnya (non LPTK). Dengan demikian, secara akademis LPTK-pun harus setaraf
dengan lembaga pendidikan tinggi (universitas/institut) lainnya, sama halnya
juga sebagai pusat pembaharuan dan pembangunan masyarakat. Dari LPTK itulah
diharapkan lahirnya IPTEK dan humaniora yang relevan dengan bidang kependidikan
sebagai sumber dan pendukung serta penunjang profesi kependidikan
2. Tugas,
Peranan dan Tanggung Jawab Pihak Pengguna Jasa Guru
Dalam berbagai kesempatan terdahulu telah
disinggung bahwa proses pembinaan kualitas kinerja keprofesian bukanlah
merupakan hal yang bersifat tuntas (exhaustive)
secara temporal (berlangsung selama proses) dan terminal (berhenti saat
berakhirnya) menempuh suatu program pendidikan, melainkan terus berkelanjutan
setelah dan selama terjun di dalam menjalankan praktek keperofesiannya
sepanjang hayatnya asalkan selalu berupaya mengembangkan diri dan menyegarkan
kinerja keprofesiannya seirama dengan tuntutan perkembangan IPTEK dan
persyaratan standar bidang pekerjaannya.
Atas dasar itu, maka pihak-pihak yang
berkepentingan dengan pengelolaan dan pengguna jasa para pengemban profesi itu
seyogianya memberi peluang dan dukungan bagi upaya pengembangan kualitas
kinerja kependidikan, peranan dan tanggung jawab pihak pengelola dan pengguna
jasa tenaga kependidikan itu teramat penting mengingat bidang garapan tugas
pekerjaannya hingga dewasa ini cenderung lebih bersifat pelayanan yang
terorganisasikan dan terikat secara kelembagaan (institusional) ketimbang yang
bersifat pelayanan individual yang bebas dan secara mandiri. Memang telah mulai
menggejala juga, adanya hasrat dari sementara kalangan masyarakat pengguna jasa
di bidamg kependidikan itu yang memerlukan pelayanan khusus secara privat,
namun proporsinya teramat masih terbatas dibandingkan dengan mereka yang masih
menghendaki pelayanan terorganisasikan secara melembaga, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun oleh masyarkat (LSM).
Siapa dan/atau lembaga apa dan yang mana saja
yang dapat diidentifikasikan sebagai pihak pengguna jasa profesi kependidikan
itu? Mengingat kegiatan pekerjaan pendidikan itu dewasa ini telah
dikonseptualisasikan secara sistematik, maka unsur-unsur pihak pengguna jasa
pelayanan profesi kependidikannya juga seyogianya diidentifikasi secara
sistematik. Untuk itu, perlu ditelaah:
a.
Didentifikasi dan dibedakan pihak
penggunna (users) jasa profesi guru
dengan pihak penerima (beneficiaries)
jasa pelayanan profesi kependidikan. Mereka yang termasuk kepada kategori
pertama, ialah mereka yang terlibat dalam pengelolaan sistem pendidikan pada
tingkat mesoskopik (institusional: pimpinan satuan pendidikan) dan pada tingkat
makroskopiknya (struktural: pimpinan organsiasi atau badan penyelenggara satuan
dan program pendidikan). Sedangkan mereka yang termasuk kepada kategori kedua,
ialah mereka yang secara langsung menerima jasa pelayanan pendidikan (para
peserta didik yang bersnagkutan) dan mereka yang secara tidak langsung (para
orag tua, masyarakat bisnis/industri, instansi pemerintah, dan berbagai pihak
lainnya) menunjukkan antara lain pihak pengguna terbatas di lingkungan
Depdiknas.
b.
Kiranya dapat dimaklumi betapa luas dan
beraneka ragamnya pihak pengguna jasa pelayanan profesi kependidikan itu, baik
ditinjau dari segi jalur (sekolah-luar sekolah), jenjang (dasar-menengah-tinggi)
maupun penyelenggaranya (negeri-swasta). Dalam arena yang demikian luas itulah
sesungguhnya tenaga kependidikan itu beroperasi dengan berbagai ragam keahlian
dan kekhususannya.
Dengan menggabungkan kedua kekuatan tersebut,
maka secara garis besar pihak pengguna jasa pelayanan profesi kependidikan itu
dapat diikhtisarkan secara skematik sebagai berikut:
Jenjang sub-sistem
|
Status sub-sistem
|
|
Negeri
|
Swasta
|
|
Nasional
|
Departemen dengan unit-unit
utama dan perangkatnya
|
Pusat/pucuk organisasi/ Lembaga
penyelenggara Pendidikan (LSM) dengan perangkatnya
|
Regional
|
Dinas dengan unit dan
perangkatnya
|
Perwakilan/cabang organisasi
LSM penyelenggara pendidikan dengan perangkatnya
|
Institusional
|
Sekolah, institut/universitas. Balai/Pusdiklat
dengan unit-unitnya
|
Sekolah, institut/universitas,
balai/pusat diklat dengan unit-unitnya
|
Operasional
|
Program Studi, Program Diklat,
dsb
|
Program Studi, program Diklat,
dsb.
|
Sumber: Abin Syamsuddin Makmun, (1996:8)
Gambar 3
Spektrum Unsur Pengguna
Jasa Profesi Kependidikan Dalam Kerangka Sistem Pendidikan Nasional
Setiap tingkat dan jenis kategori pengguna,
termasuk penerima, jasa pelayanan tenaga kependidikan sudah barang tentu tugas,
peranan dan tanggungjawabnya dapat bervariasi dalam kontribusinya untuk
terselenggaranya pengembangan profesi dan prilaku tenaga kependidikan
termaksud.
Para pengelola sistem pendidikan secara
struktural mulai dari tingkat puncaknya (nasional, pusat) sampai kepada tingkat
paling bawah (birokrasi/pengurus cabang dan/atau rantingnya) baik instansi
pemerintah maupuan swasta, dalam posisinya sebagai penyelenggara dan bahkan
sekaligus juga sebagai pemilik dari satuan-satuan dan program-program
pendidikan yang bersangkutan, sudah barang tentu seyogianya memiliki tugas,
peranan, dan tanggung jawab yang sangat besar dan luas atas upaya pengembangan
profesi dan prilaku tenaga kependidikan. Sebagaimana dinyatakan dalam PP No. 38
tahun 1992 pasal 29:
Pengelola sistem pendidikan nasional bertanggung jawab
atas kebijaksanaan nasional berkenaan dengan sistem pengembangan profesional
tenaga kependidikan pada setiap cabang ilmu pengetahuan.
Demikian juga
UNESCO (Goble, 1977:207) merekomendasikan:
Pemantapan pendidikan guru lanjutan (continuing and inservice education and training) yang diperlukan di
semua (jenjang/tingkatan) sistem, sejak pendidikan primer (di jenjang dasar)
hingga pendidikan tersier (di jenjang perguruan tinggi) termasuk juga
pendidikan bagi orang dewasa, harus didukung oleh banyak usaha pejabat yang
berwenang di bidang pendidikan usaha semacam itu mencakup analisis kuantitatif
mengenai pengadaan (penyiapan) dan kebutuhan guru (tenaga kependidikan) di
suatu negara, dan juga pelaksanaan perencanaan nasional atau regional
(wilayah/daerah) pendidikan lanjutan bagi para guru-guru (tenaga kependidikan).
Sama halnya dengan pengelola satuan dan program
pendidikan. Merekapun mempunyai tugas, peranan, dan tanggungjawab tertentu atas
upaya pengembangan profesi tenaga kependidikan yang berada dalam lingkup
kewenangannya. Sebagaimana dinyatakan, antara lain, dalam PP No. 38 tahun 1992
pasal 30 sebagai berikut;
Pengelola satuan pendidikan (sekolah, perguruan, SKB,
PUSDIKLAT, dsb.) bertanggungjawab atas pemberian kesempatan kepada tenaga
kependidikan yang bekerja di satuan pendidikan yang bersangkutan untuk
mengembangkan kemampuan profesional masing-masing.
Pihak para penerima (beneficiaries) jasa pelayanan pendidikan langsung dan/atau tidak
langsung pertama, antara lain, para peserta didik dan atau orang tua mereka.
Sedangkan yang tidak langsung, antara lain, para pemakai (yang mempekerjakan
para lulusan dari sesuatu satuan atau program pendidikan ke dalamnya masyarakat
pengusaha dan juga instansi pemerintah). Sepanjang ketentuan yang berlaku
ternyata telah diatur pula tugas, peranan, dan tanggungjawabbya untuk berperan
serta dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, yang diantaranya juga
mencakup aspek pengadaan dan pengembangan sumber daya pendidikan termasuk SDM
atau tenaga kependidikan.
Adapun wujud dan bentuk tugas, peranan, dan
tanggungjawab para pengguna jasa tenaga kependidikan termaksud, sesungguhnya
bukan hanya sebatas:
a.
menggariskan arah kebijaksanaan tentang
pengembangan profesi tenaga kependidikan; dan/atau
b.
pemberian izin kesempatan kepada tenaga
kependidikan untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya; melainkan juga
c.
memberikan dukungan fasilitasnya yang
diperlukan, baik sarana dan prasarana maupun dana atau finansialnya yang
diperlukan bagi kepentingan pengembangan profesi tenaga kependidikan.
Sebagaimana telah direkomendasikan oleh UNESCO
(Goble, 1999: 206-207), antara lain:
Agar proses pendidikan lanjutan dapat berfungsi efektif
dan dapat dinikmati oleh guru-guru yang bertugas di daerah daerah terpencil,
penggunaan radio, televisi, dan kursus tertulis hendaknya diperluas. Perpaduan
antara kursus-kursus penuh dalam jangka pendek dengan penggunaan
program-program yang menggunakan banyak media, yang cukup lama, termasuk radio,
televisi dan kursus-kursus tertulis dapat memechakan secara langsung problem
pendidikan jabatan yang diikuti banyak guru.
Masyarakat pengguna jasa tenaga kependidikan
termaksud dapat mengorganisasikan berbagai bentuk partisipasinya seperti
disebutkan di atas itu sesuai posisi dan statusnya masing-masing. Pihak
pengguna jasa tenaga kependidikan yang terkategorikan ke dalam atau instansi
dinas pemerintahan tentu dapat menggunakan saluran-saluran kedinasannnya dengan
jalan antara lain:
a.
membentuk atau mendirikan pusat-puast
pengembangan tenaga kependidikan (LPMP, P4TK)
b. membentuk dan mendorong atau
menggerakkan unit-unit kerja sama dan asosiasi profesi guru sejenis (MGBS, MGP,
KKG, KKS, dsb) untuk memacu para guru dalam saling membantu dalam pengembangan
kemampuan profesionalnya;
c. menyediakan beasiswa untuk melanjutkan
studi (di negara yang telah maju bahkan termasuk untuk ”sabatical live”)
d. menyelenggarakan berbagai proyek
kegiatan penelitian, penulisan, seminar serta penataran dan sebagainya yang
tertuju kepada peningkatan kemampuan profesional tenaga kependidikan.
Hal serupa dapat dilakukan juga oleh pihak masyarakat (LSM) baik badan
ataupun yayasan atau perorangan, baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat
bisnis. Banyak peluang beasiswa (grant atau credit) ditawarkan oleh dunia usaha
atau organisasi sosial kemasyarakatan kepada para tenaga kependidikan untuk
keperluan studi lanjut, penelitian, pengabdian dan sebagainya. Sayangnya,
aksesnya kepada para guru mengenai informasi tentang hal-hal tersebut di
Indonesia hingga dewasa ini masih amat terbatas.
3. Tugas,
Peranan dan Tanggung Jawab Organisasi Asosiasi Profesi Guru
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa terbentuknya suatu organisasi
asosiasi profesi itu merupakan salah satu syarat bagi pengakuan keberadaan
suatu profesi selain lebih jauh lagi menunjukkan keberadaan suatu organisasi asosiasi
profesi itu merupakan salah satu syarat kelengkapan penting bagi tegaknya dan
kelangsungan hidupnya suatu profesi. Dalam konteks profesi kependidikan di
Indonesia, PP No. 38 tahun 1992 pasal 61 menunjukkan:
Tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan profesi
sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan karier, kemampuan,
kewenangan profesional, martabat dan kesejahteraan tenaga kependidikan.
Adapun wujud wadah ikatan profesi tenaga kependidikan termaksud secara umum
dan formal model dan bentuknya telah didiskusikan pada bab terdahulu. Ada yang
bersifat generik (mencakup semua jenis kategori tenaga kependidikan) dan ada
yang bersifat spesifik (berkenaan dengan salah satu jenis dan strata
kependidikan tertentu), secara internasional, telah dikenal sejumlah organisasi
asosiasi (ikatan, himpunan, persatuan, dsb.) tenaga guru yang bersifat
spesifik.
Di Indonesia, perkembangan dan realitasnya agak berbeda dari kecenderungan
yang berlaku umum secara internasional. Sudah barang tentu sesuai dengan
kondisi obyektif dan budaya politik keorganisasian yang berlaku di negeri ini.
Di masa yang lampau (saat-saat kelahiran organisasi guru yang telah menempatkan
posisinya sebagai organisasi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia), telah
disepakati hanya ada satu organisasi guru secara manunggal yang
diidentifikasikan sebagai PGRI. Sayangnya, organisasi asosiasi profesi guru ini
nampaknya seperti kurang mengindahkan segi-segi kekhususan yang ditekuni para
anggotanya. Kiprahnya nampak cenderung bersifat global kejuangan politik secara
nasional, sehingga identitas khas sebagai organisasi asosiasi keprofesiannya di
bidang pendidikan nyaris tidak menonjol.
Sesungguhnya, terdapat berbagai organisasi asosiasi di luar PGRI yang
bertalian dengan kegiatan atau permasalahan garapan yang bertalian erat dengan
bidang pendidikan, namun tidak ada kaitan organisatoris secara melembaga dengan
PGRI. Di antaranya ialah ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) dengan
bidang-bidang keahliannya (ISKIN, HISAPIN, ISMAPI, HISPELBI, Himpunan Sarjana
PLS, IPS, MIPA, Teknik, Olahraga, Bahasa dan Seni, dsb.).
Selain itu, terdapat pula format asosiasi lain yang merupakan wadah sebagai
forum kebersamaan dan bekerjasama dalam berbagai kegiatan pengembangan
keprofesian guru, antara lain: MGBS (Musyawarah Guru Bidang Studi: IPA, IPS,
Bahasa, Matematika, OR, dsb.); MGP (Musyawarah Guru Pembimbing) yang
kehadirannya disponsori dan didukung oleh pihak pengguna jasa tenaga
kependidikan. Walaupun selama ini identitas organisasi asosiasi profesi
tersebut belum terdapat pembinaan secara menyeluruh dan cenderung berjalan
sendiri-sendiri.
Secara ideal, tugas dan peranan serta tanggung jawab utama dari organisasi
asosiasi profesi kependidikan itu sebagaimana terkandung dalam muatan
meningkatkan dan/atau mengembangkan:
-
karier;
-
kemampuan;
-
kewenangan profesional;
-
martabat, dan
-
kesejahteraan
Kesemuanya itu tentu harus dijabarkan atau dielaborasikan ke dalam berbagai
bentuk kegiatan upaya atau kiprah yang nyata oleh organisasi asosiasi profesi kependidikan
yang bersangkutan, sehingga benar-benar dapat dirasakan oleh setiap anggotanya.
Secara umum UNESCO (Goble, 1977:206) menunjukkan kemungkinan kiprah yang
seyogianya dilakukan mewujudkan tugas, peranan dan tanggungjawab organisasi
asosiasi profesi guru:
Organisasi –organisasi guru hendaknya diberi kesempatan
untuk memberikan sumbangan kepada pendidikan guru lanjutan (pengemban profesi)
dengan memprakarsai kesempatan bagi guru untuk bertemu dan bekerjasama
mengatasi berbagai problema yang sama. Konferensi, seminar dan kursus-kursus
yang diselenggarakan oleh organisasi guru dapat menjadi suatu ukuran yang
penting dalam mendorong pengembangan guru yang dilakukan oleh (organisasi)
profesi itu sendiri.
Adapun problema-problema yang harus diatasi oleh para guru sebagaimana yang
tersirat dalam pernyataan UNESCO tersebut, sudah jelas kiranya erat berkaitan
dengan keempat gugus atau bidang garapan seperti berikut;
a. Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi untuk membantu peningkatan dan pengembangan karier para anggotanya? Ke dalamnya dapat termasuk juga jika anggotanya itu ingin alih fungsi dari guru kepada non-guru (pengelola, peneliti dan pengembang, dsb.) dan sebaliknya. Juga termasuk kelancaran proses penanganan dan penyelesaiannya yang justru sering terjadi permasalahan perlukah terjalin komunikasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya pihak pengguna tenaga kependidikan.
b. Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi guru untuk membantu para anggotanya dalam meningkatkan dan mengembangkan kemampuan-kemampuan profesionalnya?
a. Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi untuk membantu peningkatan dan pengembangan karier para anggotanya? Ke dalamnya dapat termasuk juga jika anggotanya itu ingin alih fungsi dari guru kepada non-guru (pengelola, peneliti dan pengembang, dsb.) dan sebaliknya. Juga termasuk kelancaran proses penanganan dan penyelesaiannya yang justru sering terjadi permasalahan perlukah terjalin komunikasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya pihak pengguna tenaga kependidikan.
b. Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi guru untuk membantu para anggotanya dalam meningkatkan dan mengembangkan kemampuan-kemampuan profesionalnya?
c.
Apa program kegiatan organisasi asosiasi
profesi guru untuk membantu para anggotanya meningkatkan kewenangan, dalam arti
peningkatan jenjang pendidikan formal keprofesiannya? Mengembangkan LPTK?
Menghimpun dana, mencari sponsor untuk menunjang kelanjutan studi para
anggotanya.
d.
Apa upaya organisasi profesi guru untuk
membina martabat profesinya? Merumuskan kode etika dan membentuk dewan/majelis
pertimbangan kode etikanya? Membina disiplin kerja keprofesian serta mengupayakan
penampilan yang dapat meningkatkan pengakuan dan penghargaan dari berbagai
pihak berkepentingan?
e.
Apa program kegiatan organisasi asosiasi
profesi guru untuk meningkatkan dan mengembangkan kesejahteraan material,
sosial, mental dan spiritual para anggotanya? Membangun koperasi? Mengembangkan
badan usaha? Menyelenggarakan kegiatan olah raga, seni, rekreasi, perhimpunan
keagamaan dan kerohanian, dsb.?
Jika pertanyaan-pertanyaan di atas itu
dihubungkan dengan bentuk-bentuk organisasi asosiasi profesi guru yang telah
ada di negeri ini, pada dasarnya hampir telah banyak yang dilakukan. Akan
tetapi, seperti dikemukakan terdahulu, dalam prakteknya berjalan
sendiri-sendiri. Setiap jenis organisasi guru yang ada cenderung mempunyai
fokusnya masing-masing. Yang menonjol pada PGRI, antara lain: segi
kooperasinya. Forum MGBS, dsb. menonjol pembinaan kemampuan profesionalnya.
PGRI juga membina beberapa LPTK. Namun majelis pertimbangan kode etika masih
belum ada yang menanganinya secara jelas, meskipun kode etikanya sudah ada.
4. Tugas,
Peranan dan Tanggung Jawab Guru
Tingkat kualitas kompetensi profesi seseorang itu
tergantung kepada tingkat penguasaan kompetensi kinerja (performance competence) sebagai ujung tombak serta tingkat
kemantapan penguasaan kompetensi kepribadian (values and attitudes competencies) sebagai landasan dasarnya, maka
implikasinya ialah bahwa dalam upaya pengembangan profesi dan prilaku guru itu
keduanya (aspek kinerja dan kepribadian) seyogianya diindahkan keterpaduannya
secara proporsional. Lieberman (1956) menunjukkan salah satu esensi dari suatu
profesi itu adalah pengabdian (the
service to be rendered) kepada umat manusia sesuai dengan keahliannya.
Karena itu betapa pentingnya upaya pembinaan aspek kepribadian (inklusif
pembinaan sikap dan nilai) sebagai sumber dan landasan tumbuh-kembangnya jiwa
dan semangat pengabdian termaksud. Dengan demikian, maka identitas dan jatidiri
seorang tenaga kependidikan yang profesional pada dasarnya akan ditandai oleh
tercapainya tingkat kematangan kepribadian yang mantap dalam menampilkan
kinerja profesinya yang prima dengan penuh semangat pengabdian bagi
kemaslahatan umat manusia sesuai dengan bidang keahliannya.
Dalam realitasnya, pada awal kehadiran dan
keterlibatan orang-orang dalam suatu profesi, termasuk bidang keguruan, pada
umumnya datang dengan membawa pola dasar motivasi dan kepribadian yang
bervariasi, sangat mungkin di antara mereka itu datang dengan bermotifkan
ekonomis, sosial, estetis, teoritis, politis atau religius. Kiranya sulit
disangkal bahwa sesungguhnya semua motif dasar tersebut, disadari atau tidak,
akan terdapat pada setiap insan. Akan tetapi, bagi pengemban profesi
kependidikan yang seyogianya dipupuk dan ditumbuhkan selaras dengan tuntutan
tugas bidang pekerjaannya, ialah motif sosial yang berakar pada jiwa dan
semangat filantropis (mencintai dan menyanyangi sesama manusia).
Itulah sebabnya, mengapa UNESCO amat
merekomendasikan agar masalah pembinaan kepribadian guru itu harus mendapat
perhatian yang sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan pendidikan keguruan, baik
pada fase prajabatan maupun dalam jabatannya. Di dalam fase prajabatan, program
pendidikan harus dikembangkan yang memungkinkan dapat terjadinya proses sosialisasi
yang sehat, baik melalui kegiatan kurikuler maupun ko-kurikuler dan
ekstra-kurikulernya seperti ”student self-gouvernment activities” dan
”community services”. Sudah barang tentu harus ditunjang kelengkapannya yang
memadai, termasuk sistem asrama. Sedangkan dalam fase pasca pendidikan
prajabatan, upaya pengembangan kepribadian dan keprofesian itu pada dasarnya
akan sangat tergantung kepada sejauh mana jiwa dan semangat “self-propelling
and professional growth and development” dari guru yang bersangkutan.
Dalam realitasnya, semangat dan kesadaran untuk
menumbuh-kembangkan diri (kepribadian) dan keprofesian itu tidak selalu terjadi
dengan sendirinya (secara intrinsik), melainkan harus diciptakan iklim yang
mendorong dan ”memaksa” pengemban suatu profesi itu dari lingkungannya (secara
ekstrinsik). Itulah sebabnya baik UUSPN No. 20 tahun 2003 telah menjadikannya
sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap guru.
Sebagai operasionalisasinya untuk mendorong dan
”memaksa” guru agar melaksanakan kewajibannya itu ialah dengan
memperhitungkannya sebagai salah satu komponen yang menjadi dasar kenaikan
jenjang jabatan fungsionalnya dengan diberikan angka kredit yang signifikan,
baik ke dalam unsur pendidikannya, pengembangan profesi, maupun unsur penunjangnya
(SK. Menpan No.28 tahun 1989). Meskipun berbagai ketentuan tersebut pada
dasarnya diperuntukkan bagi PNS, namun dalam prakteknya juga dijadikan pedoman
bagi penentuan angka kredit dalam rangka menetapkan jenjang jabatan fungsional
tenga kependidikan dalam kerangka sistem pendidikan nasional.
Bagi guru yang datang dengan motif dasar
intrinsik, sudah barang tentu upaya pengembangan dirinya dan keprofesiannya itu
bukan merupakan permasalahan. Ia tinggal memilih saja alternatif mana yang
diminatinya sebagaimana disarankan, secara umum, melalui:
(1) pendidikan formal sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis bidang keahliannya (jika hal itu belum ditempuh sebelumnya);
(2) pendidikan non formal (sepanjang tersedia);
(3) keikut-sertaan dalam berbagai kegiatan penelitian, seminar, lokakarya, penulisan/publikasi, dsb. yang relevan dengan bidang keprofesiannya;
(4) belajar mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media (cetak dan/atau elektronik) yang tersedia relevan dengan bidang keprofesiannya. Berbagai kegiatan termaksud sangat boleh jadi dilakukannya juga di lingkungan kerjanya sebagai laboratorium eksperimentasinya yang aktual, nyata, dan pragmatis untuk menunjang kualitas kinerjanya secara langsung.
(1) pendidikan formal sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis bidang keahliannya (jika hal itu belum ditempuh sebelumnya);
(2) pendidikan non formal (sepanjang tersedia);
(3) keikut-sertaan dalam berbagai kegiatan penelitian, seminar, lokakarya, penulisan/publikasi, dsb. yang relevan dengan bidang keprofesiannya;
(4) belajar mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media (cetak dan/atau elektronik) yang tersedia relevan dengan bidang keprofesiannya. Berbagai kegiatan termaksud sangat boleh jadi dilakukannya juga di lingkungan kerjanya sebagai laboratorium eksperimentasinya yang aktual, nyata, dan pragmatis untuk menunjang kualitas kinerjanya secara langsung.
No comments:
Post a Comment