Secara sosiologis, adanya pengakuan (recognition) terhadap suatu profesi itu
pada dasarnya secara implisit mengimplikasikan adanya penghargaan, meskipun
tidak selalu berarti financial (uang) melainkan dapat juga bahkan terutama
mengandung makna status sosial. Tidak mengherankan karenanya, banyak dari warga
masyarakat, terutama golongan menengah, yang memandang bahwa menjadi seorang
perofesional itu merupakan dambaan yang menjanjikan.
Wujud dan derajat besarnya imbalan sebagai
manifestasi dari penghargaan tersebut ternyata bervariasi, tergantung kepada
derajat kepuasan yang dirasakan oleh para pengguna jasa pelayanan yang
bersangkutan. Wujudnya mungkin ada yang hanya berupa sebuah piagam atau
pernyataan terima kasih saja, namun ada juga yang berupa bayaran finansial atau
bentuk lainnya. Dalam hal ini jenis bidang pekerjaan kedinasan yang
diselenggarakan oleh pemerintah (negara), imbalan pokoknya lazimnya berupa gaji
(salaries) di samping imbalan
keprofesian (yang lazim disebut sebgai tunjangan keahlian atau tunjangan
jabatan fungsional) yang besarnya sesuai dengan status dan peringkat
jabatannya. Sedangkan dalam hal jenis bidang pekerjaannya merupakan sesuatu
yang bersifat mandiri (independent)
seperti notaris, akuntan, pengacara, dokter, dsb. lazimnya ketentuan besarnya
imbalan termaksud diatur oleh organisasi asosiasi profesi yang bersangkutan
dan/atau berdasarkan suatu perjanjian/kontrak yang disepakati oleh pihak-pihak
yang berkepentingan.
Tenaga profesional yang diangkat oleh pemerintah
pada dasarnya mengenal batas waktu pension (akhir masa baktinya), sedangkan
sebagai penyandang profesi mandiri pada dasarnya terbatas sampai semampunya
bertugas saja. Jadi meskipun telah menjalani pensiun sebagai PNS, seorang pengemban
profesi dapat terus menjalani pensiun sebagai PNS, seorang pengemban
profesional dapat terus menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat
sepanjang memerlukannya.
A. Batasan Kesejahteraan Guru
dan Staf
Masalah kesejahteraan selain sensitif karena menjadi
pendorong seseorang untuk bekerja, juga karena berpengaruh terhadap moral dan
disiplin pegawai. Oleh karena itu, setiap organisasi manapun seharusnya dapat
memberikan kompensasi yang seimbang dengan beban kerja yang dipikul pegawai.
Dengan demikian, tujuan pembinaan pegawai adalah untuk menciptakan pegawai yang
berdaya guna dapat terwujud. Lebih dari itu, tujuan organisasi untuk
meningkatkan kesejahteraan dapat tercapai.
Pemahaman mengenai kompensasi di sini tidak sama
dengan upah. Upah adalah satu perwujudan riil dari pemberian kesejahteraan.
Bagi organisasi, upah adalah salah satu perwujudan dari kompensasi yang paling
besar diberikan kepada pegawai. Pengertian kesejahteraan selain terdiri atas
upah, dapat berupa tunjangan innatura, fasilitas perumahan, fasilitas
kendaraan, tunjangan keluarga, tunjangan kesehatan, tunjangan pakaian, dan
sebagainya yang dapat dinilai dengan uang serta cenedrung diberikan secara
tetap. Kesejahteraan pegawai adalah imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan
lembaga kepada pegawainya, karena telah memebrikan sumbangan tenaga dan pikiran
demi kemajuan organisasi guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Telah banyak penelitian yang dilakukan tentang
tingkat kepuasan terhadap kesejahteraan yang mereka terima dari organisasi. Hal
tersebut dipengaruhi oleh: Jumlah yang diterima dan jumlah yang diharapkan;
Perbandingan dengan apa yang diterima oleh pegawai, Pandangan yang keliru atas
kompensasi yang diterima pegawai lain, Besarnya kompensasi instrinsik dan
ekstrinsik yang diterimanya untuk pekerjaan yang diebrikan kepadanya.
1.
Jumlah
yang diterima dan jumlah yang diharapkan
Sebagian besar teori mengenai kepuasan menekankan
bahwa kepuasan pegawai ditentukan oleh perbandingan yang dibuatnya antara apa
yang diterimanya dan berapa yang seharusnya (menurut keinginan) diterima oleh
pegawai yang bersangkutan. Apabila pegawai menerima kurang dari yang seharusnya
mereka terima, mereka merasa tidak puas. Sebaliknya, apabila mereka menerima
lebih dari seharusnya mereka terima mereka cenderung merasa puas.
2. Perbandingan
dengan apa yang diterima oleh pegawai
Perasaan tidak puas seorang pegawai banyak
dipengaruhi oleh perbandingan dengan apa yang diterima pegawai lain yang
posisinya sama dengannya. Perbandingan tersebut baik di dalam maupun di luar
organisasi tempat mereka bekerja untuk bidang yang sama. Perbandingan tersebut
menghasilkan kesimpulan tentang berapa besarnya kompensasi yang seharusnya
mereka terima.
3. Pandangan
yang keliru atas kompensasi yang diterima pegawai lain.
Banyak bukti akurat bahwa pegawai sering salah
tanggap, tidak saja mengenai kecakapan, keterampilan, dan kinerja, akan tetapi
juga menegnai besarnya kompensasi yang mereka terima. Hal itu penting dan
merupakan masalah paling peka yang langsung berhubungan dengan harga profesionalisme
mereka. Besar kemungkinan terjadi pandangan yang keliru apabila pegawai
melibatkan perasaannya. Lagi pula lembaga sering tidak memberikan informasi
akurat yang dapat mereka gunakan sebagai standar pembentukan pandangan.
4.
Besarnya
kompensasi instrinsik dan ekstrinsik yang diterimanya untuk pekerjaan yang
diebrikan kepadanya
Belum adanya kesepakatan para ahli untuk
menentukan kompensasi mana yang paling penting, apakah kompensasi intrinsik
atau kompensasi ekstrinsik dalam penentuan kepuasan kerja. Kebanyakan studi
menunjukkan bahwa keduanya amat penting dan memiliki pengaruh langsung yang
besar pada kepuasan kerja secara keseluruhan. Lagi pula kompensasi instrinsik
dan ekstrinsik yang satu tidak dapat secara langsung menggantikan yang lain karena
kedua macam tersebut memenuhi kebutuhan yang agak berbeda. Untuk memenuhi semua
kebutuhannya, kebanyakan pegawai harus menerima kedua macam kompensasi tersebut
sebagai hak mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang membosankan dan
berulang-ulang atau yang menarik tidak memberi kesenangan apabila kompensasi
yang diterima jauh dari yang diharapkan pegawai yang bersangkutan.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa jumlah
kompensasi seluruhnya yang diterima pegawai sebagai bentuk kesejahteraan dapat
memiliki pengaruh positif langsung terhadap perilaku pegawai yang bersangkutan
berkenaan dengan statusnya sebagai salah satu unsur dalam perusahaan. Akan
tetapi pada banyak segi, hal tersebut tidak langsung memepngaruhi motivasi
pegawai untuk berkinerja. Namun motivasi merupakan suatu fungsi yang
menghubungkan antara kompensasi dengan kinerja, dan secara tiak langsung
dipengaruhi oleh jumlah kompensasi keseluruhan yang diterima pegawai yang
bersangkutan.
Dari sudut pandang pegawai sebagai individu,
besarnya kompensasi merupakan faktor penentu yang penting untuk gaya hidupnya
dan jenis aktivitasnya di luar jam kerja. Di samping itu, kompensasi merupakan
faktor penentu yang teramat penting untuk status sosial dan kehormatan di
masyarakat. Bagi beberapa pegawai, kompensasi adalah lebih dari sekedar uang
dalam jumlah tertentu dan tunjangan, serta berbagai macam imbalan yang dapat
dibelanjakan untuk membeli seperangkat benda materiil dan jasa. Dalam hal ini
kompensasi berarti kehormatan sosial, kekuasaan, dan daya pikat (infaiter)
kepada masyarakat.
Penetapan besarnya kesejahteraan yang layak bagi
masing-masing pegawai merupakan masalah yang teramat penting. Oleh karena itu,
ini perlu penanganan profesional dari para manajemen SDM. Apabila proses ini
dilaksanakan secara sembarangan, dapat mengakibatkan rasa tidak puas pegawai
yang bersangkutan.
B. Sistem Pemberian
Kesejahteraan
Hingga kini eblum terdapat kesamaan di antara
manajemen organisasi dalam menentukan persentase antara imbalan tunai dan
tunjangan dari biaya keseluruhan kompensasi. Beberapa organisasi memebri
imbalan semata-mata atas dasar uang tunai, sedangkan organisasi lain hampir 50
persen dari seluruh biaya kompensasninya terdiri dari bermacam-macam tunjangan.
Sayang sekali, biar bagaimana wujud tunjangan, sering belum mencapai tingkat
optimum bagi pegawai. Perbedaan mengenai pilihan antara tunjangan dan uang
tunai cukup besar. Ada sebagian pegawai yang lebih menginginkan uang tunai dan
yang lain lebih menyukai tunjangan. Di antara mereka yang lebih menyukai tunjangan,
juga terdapat perbedaan mengenai tunjangan apa yang disenangi. Salah satu
pendekatan masalah tersebut, yakni kompensasi kafetaria. Pendekatan ini memebri
alternatif kepada individu tentang bagaimana mereka menerima kompensasi.
Apabila tidak ada kemungkinan memebri pilihan kepada individu, organisasi yang
memebrikan tunjangan tinggi, akhirnya sering mengeluarkan uang yang lebih
banyak daripada perusahaan yang tunjangannya lebih rendah, akan tetapi mereka
tidak menerima kembali hasil yang memadai atas pengeluaran tambahan mereka.
Adalah tidak mudah untuk menganekaragamkan
tunjangan berdasarkan kinerja. Akibatnya, uang yang seyogyanya dipakai untuk
mendorong kinerja menjadi lenyap. Semua ini menunjukkan dalam berbagai keadaan,
lebih baik membayar dengan tunai daripada berbentuk tunjangan. Namun, masih
perlu dibuat analisis tentang berbagai keadaan, sebelum mengambil keputusan
untuk membayar uang tunai.
Jenis sistem imbalan bagaimana yang diperlukan
bagi pegawai? Belum ditemukan jawaban yang pasti. Meskipun bagi organisasi
terutama perusahaan besar, hal ini harus ditemukan jawabannya, karena
efektivitas sistem imbalan bergantung pada disgnosis yang baik mengenai keadaan
setempat. Namun demikian, di sini dapat diberikan beberapa patokan umum agar
efektif. Patokan umum yang diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam praktek sistem
kompensasi, meliputi individualistis, proses keputusan terbuka, imbalan
berdasarkan kinerja, dan sistem kepnatasan yang merata.
1.
Individualistis
Sistem kompensasi perlu dicocokkan dengan
kebutuhan dan gaya individu pegawai, maupun keadaan lingkungan bekerjanya.
Peningkatan kebutuhan disebabkan beraneka ragamnya kebutuhan pegawai. Semakin
besar kebutuhan dan gaya hidupnya, semakin besar keinginan mendapatkan uang
sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, imbalan yang dikeluarkan dari seluruh
paket kompensasi semakin besar. Sistem kompensasi dengan imbalan yang sama dari
setiap pegawai, menggunakan rencana upah dasar yang sama dan seterusnya, tidak
lagi cocok dengan keragamaman kondisi angakatan kerja dan keanekaragaman bidang
yang digumuli organisasi.
Pada saat mendatang sistem kompensasi yang ideal
adalah adanya kontrak individual antara majikan dan pegawai yang meliputi
rencana tunjangan, jam kerja, kaitan imbalan dengan kinerja, dan seterusnya.
Dewasa ini, hal demikian sering kali dilakukan manajer puncak dari luar tetapi
sudah tidak bisa dipraktekan dalam berbagai kondisi. Akan tetapi perlu
ditemukan jalan tengah antara kontrak individualdan sistem imbalan yang
membayarsetiap tnaga kerja dengan cara yang sama. Suatu pendekatan yang
dipandang paling menguntungkan adalah mengkombinasikan tunjangan yang elastis
dengan kenaikan sejumlah uang tunai. Kedua pendekatan tersebut dapat memberikan
pilihan yang sangat luas kepada individu tenaga kerja.
2.
Proses
Keputusan Terbuka
Pendekatan klasik terhadap pengambilan keputusa
kompensasi adalah pendekatan yang sifatnya tidak transparan dari atas kebawah,
dan mekanismenya tidak dapat diganggu gugat. Namun, lambat laun pendekatan ini
mengalami proses perubahan meski tanpa disadari.
Banyak tenaga kerja saat ini yang diberi
kesempatan lebih banyak untuk memberi masukan pada keputusan dan diberi
informasi lebih banyak mengenai sifat keputusan tersebut. Namun demikian, untuk
memenuhi harapan yang mengikat tenaga kerja dari pemerintah terhadap perusahaan
untuk mengadakan keputusan sistem imbalan, perusahaan perlu mengambil keputusan
kompensasi secara terbuka, partisipatif, dan memasukkan sistem yangmemberi
perlindungan hak.
Dengan peningkatan ketrbukaan, partisipatif, dan
perlindugan hak, sistem imbalan perusahaan mungkin akan cocok dengan perubahan
pada ciri angkatan kerja dan jenis tuntutan pemerintah yang mungkin diajukan
kepada peerusahaan dalam masyarakat kita yang sadar akan hak.
3.
Imbalan
Berdasarkan Kinerja
Sistem imbalan dapat berperan dalam meningkatkan
motivasi tenaga kerja untuk bekerja lebih efektif, meningkatkan produktifitas
dalam perusahaan, serta mengimbangi kekurangan dan keterlibatan komitmen yang
menjadi ciri angkatan kerja masa kini. Kuncinya adalah mengaitkan imbalan
selayaknya dengan kinerja tenaga kerja.
Perusahaan yang tergolong modern, saat ini banyak
mengaitkan imbalan dengan kinerja. Hal ini dimaksudkan untuk memancing motivasi
tenaga kerja. Imbalan yang sesuai akan mendorong kinerja meningkat. Di sapng
itu, kebutuhan akan kinerja yang lebih baik juga terus meningkat.
Pentingnya mengaitkan kinerja dengan imbalan
menjadi terganggu karena ada beberapa gejala yang menyebabkan sulitnya
melakukan hal tersebut. Gejala tersebut, antara lain tuntutan yang adil dan
layak, pertumbuhan industri jasa, serta meningkatnya ketidakpuasan akan
imbalan. Gejala-gejala tersebut merupakan kenyataan yang harus ditempuh
perusahaan dalam mengantisipasi perkembangan perusahaan serta angkatan kerja
yang hterogen dengan pemberian imbalan berdasarkan kinerja.
4.
Sistem
Kepantasan yang Merata.
Tenaga kerja tidak begitu saja menerima
kompensasi yang tinggi, tetapi tingkat upah seorang tenaga kerja ikut
menentukan apakah tenaga kerja tersebut berhak atas tunjangan khusus atau
tidak. Pada perusahaan besar terdapat tingkatan yang berbeda-beda dalam
menetapkan sistem imbalan. Pengaruhlangsung yang terlihat adalah perusahaan
terbagi-bagi dalam berbagai lapisan berdasarkan jenis imbalan yang diterima
tenaga kerja. Hal ini agak bertentangan dengan keinginan tenaga kerja agar
perusahaan lebih partisipatif dan punya perhatian terhadap keadilan sosal
tenaga kerja. Jawabnya tidak terletak pada pemberian imbalan yang sama kepada
setiap tenaga kerja, tetapi mungkin pada pengurangan dari beberapa perbedaan
tersebut. Misalnya, perbedaan pemberian tunjangan antara tenaga kerja harian
dan tenaga kerja tetap. Perbedaan tersebut sebenarnya memiliki dua keuntugan. Pertama, meningkatkan persepsi keadilan
sosial;kedua, persepsi setiap tenaga
kerja merupakan anggota penuh dari perusahaan.
C. Bentuk Kesejahteraan Bagi
Guru
1.
Pengakuan
(Recognition)
Secara sosiologis, kehadiran suatu profesi itu
pada dasarnya merupakan suatu fenomena sosial atau kemasyarakatan. Hal itu
berarti bahwa keberadaan suatu profesi di masyarkat bukan diakui dan diyakini
oleh para pengemban profesinya itu semata, justru diakui dan dirasakan manfaat
dan kepentingannya oleh masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan
oleh Langford (1978:19) berikut.
The members of a profession not only see themselves as
members of a profession but are also seen as a profession by the rest of the
community; and recognition as a profession is desired by its members. They
think that they have something of value to offers to be community; and in
recognizing them as a profession the community is agreeing that this is so.
Untuk berkembangnya peran dan fungsi suatu
profesi guru membutuhkan pengakuan dari bidang-bidang profesi lain yang telah
berada di masyarakat, terutama yang wilayah bidang garapan pelayanannya sangat
mirip dan bertautan. Karena itu, para pengemban suatu profesi seyogianya sangat
memahami dan menyadari batas dan keunikan bidang profesinya serta menghindari
sikap arogansi (an antidote for arrogance).
Pengakuan dan penghormatan antar bidang profesi akan tercipta dan terjamin,
jika masing-masing pengemban berbagai bidang profesi mematuhi kode etiknya.
Dalam banyak hal, prinsip dasar saling menghormati antar bidang profesi itu
justeru akan merupakan landasan bagi terwujudnya kerjasama secara kesejawatan
dalam menghadapi dan memecahkan berbagai permasalahan di masyarakat yang membutuhkan
pendekatan secara interdisipliner yang inklusif interprofesi, sebagaimana
halnya dijumpai mengenai permasalahan kependidikan, kesehatan, kesejahteraan,
dan sebagainya. (Blocher, 1987).
Untuk terjaminnya kehadiran, perkembangan dan
kemantapan peran dan fungsi suatu profesi itu juga membutuhkan adanya pengakuan
dan perlindungan hukum dari pemerintah yang bersangkutan. Dalam berbagai hal
terkadang sulit terhindari terjadinya permasalahan keprilakuan atau kepribadian
dan kinerja praktek pelayanan profesi yang dipandang menyimpang atau melanggar
ketentuan-ketentuan kode etik atau norma humum yang berlaku di masyarakat, yang
berakibat banyak pihak pengguna jasa layanan profesi tertentu yang merasa
dirugikan. Karenanya, tidak jarang terjadinya pengaduan secara hukum terhadap
para pengemban profesi tersebut. Untuk melindungi kepentingan semua pihak,
dengan demikian, sangat logis adanya pengakuan resmi pemerintah atas suatu
profesi (jurisdiction).
Status profesi di bidang kependidikan, khususnya
yang termasuk kategori sebagai guru atau pengajar hingga saat sekarang ini baik
secara nasional (di Indonesia) maupun secara internasional (di manapun di
seluruh dunia), pada dasarnya baru memperoleh pengakuan (recognition) sebagai jenis kategori profesi bayaran yang diangkat
oleh pemerintah atau lembaga/organisasi yang memerlukannya. Dengan demikian,
profesi keguruan masih belum memperoleh pengakuan sebagai suatu profesi yang
bersifat mandiri (seperti notaris, dokter, psikolog, dsb). secara
internasional, pengakuan termaksud telah dirumuskan dan dinyatakan secara resmi
dalam suatu deklarasi resmi Konferensi Internasional antar Pemerintah yang
diselenggarakan oleh UNESCO (PBB) bersama ILO tertanggal 21 September sampai 5
Oktober 1966 di Paris. Namun demikian, sesungguhnya secara defakto juga peluang
kearah itu sudah terbuka dengan mulai maraknya permintaan pelayanan privat-les
dalam berbagai bidang atau matapelajaran tertentu. Hal ini merupakan embrio
bagi pengembangan jenis pelayanan pengajaran individual secara profesional.
2.
Penghargaan
dan Imbalan
Penghargaan dan imbalan yang diperoleh tenaga
guru sudah barang tentu sesuai dan seirama dengan pengakuan terhadap statusnya.
Sebagai tenaga yang diangkat (PNS atau lainnya) mereka memperoleh imbalan gaji
seperti pegawai pada umumnya serta tunjangan jabatan fungsionalnya. Akan tetapi
pada umumnya imbalan penghargaan termaksud hanya diperoleh selama dinas
(setelah pensiun tidak berpraktek seperti profesi lainnya). Di negara-negara
maju, meskipun status tenaga profesi kependidikan itu sebagi tenaga bayaran
yang diangkat (belum mandiri), masih banyak jenis imbalan lain yang menunjang
kesejahteraan dn pengembangan diri dan kemampuan profesionalnya, seperti
kesempatan belajar atau bekerja di negara lain (sabatical live) dengan hak imbalan gaji penuh, dsb.
Berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen No. 14
Tahun 2005 pada Bagian Kedua tentang Hak dan Kewajiban, Pasal 14 disebutkan
bahwa:
Dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan, guru berhak:
a.
memperoleh penghasilan di atas kebutuhan
hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b.
mendapatkan promosi dan penghargaan
sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c.
memperoleh perlindungan dalam
melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d.
memperoleh kesempatan untuk meningkatkan
kompetensi;
e.
memperoleh dan memanfaatkan sarana dan
prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f.
memiliki kebebasan dalam memberikan
penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada
peserta didik seuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan
perundang-undangan;
g.
memperoleh rasa aman dan jaminan
keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h.
memiliki kebebasan untuk berserikat
dalam organisasi profesi;
i.
memiliki kesmepatan untuk berperan dalam
penentuan kebijakan pendidikan;
j.
memperoleh kesmepatan untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi, dan/atau
k.
memperoleh pelatihan dan pengembangan
profesi dalam bidangnya.
Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, meliputi:
a.
gaji pokok;
b.
tunjangan yang melekat pada gaji;
c.
penghasilan lain berupa:
-
tunjangan fungsional
-
tunjangan khusus
-
maslahat tambaha
DAFTAR
PUSTAKA
Armstrong, Michael (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta: PT Elex Media Koputindo.
Castetter, William B. (1996). The Human Resource
Function in Educational Administration, New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Hasibuan, Malayu SP. (2000). Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Mangkunegara, Anwar Prabu (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Rosdakarya.
Schuler, Randall S. (1987). Personnel and Human
Resource Management. New York: West Publishing Company.
Schuler, Randal S. & Susan E.Jackson (1997). Manajemen
Sumber Daya Manusia Menghadapi Abad 21. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Siagian, Sondang P.
(2000). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
No comments:
Post a Comment